Sebuah penelitian yang dimuat dalam Harvard Business Review Edisi 03/2010 menemukan fakta yang menarik. Pada penelitian tersebut Prof. Vohs melalui berbagai eksperimen menemukan bagaimana perilaku, tingkat stress dan bahkan rasa sakit pada manusia sangat dipengaruhi oleh uang.
Salah satu eksperimen yang dilakukan adalah dengan meminta beberapa orang yang terbagi dalam dua kelompok untuk melakukan dua tugas berbeda. Kelompok pertama diminta menghitung tumpukan kertas lembar demi lembar secara manual sementara kelompok kedua juga melakukan dengan cara yang sama hanya saja bukan kertas yang dihitung melainkan uang.
Setelah beberapa lama kedua kelompok diminta mencelupkan jari-jari mereka ke dalam air panas. Ternyata kelompok pertama yang menghitung kertas mengaku merasakan rasa sakit pada jarinya lebih tinggi dibanding kelompok kedua.
Pada eksperimen selanjutnya satu kelompok diminta untuk menceritakan mengenai pengeluaran keuangannya sementara kelompok yang lain diminta bercerita mengenai kondisi cuaca. Setelah diuji hasilnya kelompok pertama merasakan tingkat stress yang lebih tinggi ketimbang kelompok kedua.
Tak cukup sampai di sana, penelitian berikutnya menemukan bahwa pada subjek yang komputernya dipasang screen saver bergambar uang memiliki kecenderungan menggeser kursinya menjauh dari orang di sebelahnya. Hal ini tak terjadi pada subjek yang di komputernya dipasang screen saver bergambar kehidupan di bawah laut.
Lebih lanjut Vohs mengemukakan bagaimana perilaku dalam kehidupan nyata berubah karena uang. Pada golongan ekonomi rata-rata ketika hendak berpindah rumah mereka cenderung meminta bantuan kepada sanak saudara atau sahabat. Sementara pada golongan ekonomi di atas rata-rata lebih memilih menyerahkan urusan tersebut pada penyedia jasa dengan menyewa.
Banyak lagi temuan-temuan dari penelitian itu seperti perilaku seorang wanita yang pada golongan ekonomi rata-rata memilih berbelanja bersama saudara perempuannya sementara pada golongan ekonomi atas memilih menyerahkan urusan belanja pada personal shopper.
Ketika saya menyinggung mengenai believe system kepada klien yang menggunakan jasa saya sebagai konsultan, sebagian besar tak menganggapnya sebagai suatu isu yang serius. Kebanyakan klien berharap saya hanya berbicara dan memberi solusi seputar hal-hal teknis saja padahal saya melihat bahwa permasalahannya tak semata perkara teknis maka solusi teknis tak akan cukup membantu.
Pada beberapa tulisan baik di blog maupun FB beberapa kali saya juga menyinggung mengenai believe system karena dalam pengamatan faktor ini memiliki pengaruh cukup besar pada proses dan output.
Hasil penelitian Vohs setidaknya sedikit menunjukkan hal itu, meski Vohs sendiri menggunakan implikasi tersebut dalam hal pemasaran. Namun tampak bagaimana seseorang merespon suatu kondisi berdasarkan hubungan dirinya dengan objek tertentu (dalam hal ini uang). Uang hanyalah salah satu objek yang tak berbeda dengan benda-benda lainnya. Perasaan kita terhadap objek itulah yang memengaruhi respon kita, sementara perasaan kita terhadap objek tersebut adalah akibat dari believe system yang kita miliki.
Mengacu pada pengamatan dan pengalaman pribadi saya melihat bahwa beberapa klien yang memiliki keyakinan bahwa bisnisnya menghasilkan banyak uang maka faktanya memang demikian sekalipun kondisi LSE tak menentu. Sebaliknya klien yang tak begitu yakin akan bisnisnya sekalipun memiliki keunggulan pembeda namun tak cukup menghasilkan uang.
Rekan saya seorang konselor pernikahan pun pernah mengatakan hal senada meski tak menyebut mengenai believe system namun ia berkata bahwa cara pandang seseorang terhadap cinta dan keharmonisan keluarga berpengaruh besar terhadap keharmonisan kehidupan rumah tangganya. Demikian pula kesulitan seseorang untuk memperoleh pasangan juga banyak dipengaruhi oleh cara pandangnya terhadap cinta dan dirinya sendiri.
Believe system lahir karena ditanamkan oleh lingkungannya (orang tua, kerabat, teman, dll.) namun bisa juga timbul dari pengalaman pribadinya. Entah darimana asalnya satu hal yang pasti bahwa believe system bukanlah sesuatu yang mutlak dan tak dapat diubah.
Sekali lagi: a believe is only a thought that you keep thinking! The only thought that you keep thinking is a believe. So…change your thought and slightly you’ll change your believe…
(Satrio)
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A
Comments are closed.