Seperti sudah diceritakan pada posting sebelumnya bahwa surat (putus) cinta dari Amazon memaksa saya untuk mencari alternatif lain. Semula memang CJ adalah pilihan pertama saya karena target konsumennya sama dan beberapa produknya juga sama dengan Amazon. Asumsinya saya tidak perlu belajar lagi dari awal untuk memperoleh penghasilan lewat CJ.
Namun keadaan tak selalu sesuai dengan apa yang direncanakan. Update Google Panda yang dimulai pada tanggal 25 September lalu ternyata berdampak luar biasa terhadap blog-blog berbahasa Inggris. Memang blog saya tidak terkena penalti, setidaknya sampai saat ini. Namun indeks-nya terus berubah dari waktu ke waktu. Semula terindeks ratusan (blog baru), kemudian menjadi puluhan, lalu jadi 0 (nol) dan hari berikutnya muncul lagi dalam hitungan jari. Begitu seterusnya.
Berangkat dari kondisi yang belum stabil itu maka saya pikir untuk saat ini blog berbahasa Inggris lebih-lebih blog baru dalam kasus saya kurang bisa diharapkan. Setidaknya sampai proses update algo ini selesai dan stabil hingga kita tahu ada dimana posisi kita di mata algo yang baru ini. Lebih-lebih Google menurut saya belakangan ini makin “benci” dengan blog-blog yang mengandung link afiliasi.
Di lain pihak meski beberapa blog berbahasa Indonesia saya juga terkena dampak namun tidak separah blog berbahasa Inggris. Karenanya saya pikir blog Indonesia relatif aman dari ketidakstabilan update tersebut, setidaknya sampai saat ini. Ke depan siapa yang tahu, toh bisnis online dan offline dalam banyak hal memiliki karakter yang sama: tidak ada kepastian, yang pasti ya ketidakpastian itu sendiri.
Berasumsi bahwa blog berbahasa Indonesia relatif stabil dari update algo Google terbaru maka saya putuskan untuk membuat blog baru yang dikhususkan untuk afiliasi Indonesia. Memang selama ini sudah ada beberapa blog berbahasa Indonesia, namun saya memonetisasi-nya untuk AdSense, bukan untuk afiliasi.
Memang teorinya afiliasi dan PPC bisa disatukan dalam blog yang sama, tapi pengalaman saya jika disatukan maka akan saling mengkanibal. Bisa jadi PPC menjadi turun, bisa jadi afiliasi yang kalah. Karena itu saya sendiri lebih suka memisahkan keduanya di blog berbeda. Selain itu blog berbahasa Indonesia yang saya miliki tidak sesuai dengan produk-produk yang dijual oleh perusahaan online yang bersangkutan.
Karena sejauh ini afiliasi di Indonesia yang dalam pandangan saya paling layak untuk ditekuni hanya Lazada maka tak ada pilihan lain selain mencoba serius di sini. Kenapa Lazada? Memang banyak afiliasi lain, tapi pilihan saya tetap Lazada karena range produknya cukup luas, produknya riil (bukan e-book, software, audio book dan sejenisnya), komisinya paling tinggi di antara afiliasi sejenis di Indonesia dan yang terakhir tingkat kepercayaan konsumen kepada Lazada masih lebih tinggi dibanding toko online lainnya.
Terjun sebagai publisher dalam program afiliasi Lazada jujur saja membuat saya harus mulai dari nol. Pasalnya saya masih buta terhadap beberapa hal vital seperti niche apa yang paling laku di Indonesia dan seperti apa karakter calon pembeli toko online di Indonesia.
Karenanya riset dan tebak-tebakan lewat intuisi harus dilakukan seperti saat awal-awal jadi publisher Amazon dulu. Selain itu, kemampuan publisher Indonesia yang bergabung dengan afiliasi Lazada juga tak bisa diremehkan. Saya sempat mengintip blog-blog kawan-kawa sekaligus kompetitor yang terjun di afiliasi Lazada ini dan hasilnya posisi mereka cukup kuat baik dari SEO maupun audience loyal. Karena itu saya tahu bahwa tidak bisa main-main jika mau serius terjun di sini, sebab kompetitornya sudah well established.
Selain itu karena saya belum memiliki blog dengan niche yang sesuai dengan kategori produk yang laris di Lazada maka mau tidak mau harus membangun blog baru kalau ingin serius. Faktanya membangun blog baru itu tidak gampang bukan dari faktor teknis namun juga non teknis. Bagi saya pribadi tantangan membangun blog baru adalah “percaya pada sesuatu yang tidak kelihatan”. Kenapa saya katakan demikian? Karena dengan berbagai upaya dan kerja keras melakukan riset kata kunci, riset untuk menulis artikel dan membangun backlink umumnya hasil baru mulai terlihat paling cepat tiga bulan kemudian. Itupun belum tentu hasilnya seperti yang diinginkan.
Pernah tahun lalu saya membangun blog baru yang setelah tiga bulan mulai mendatangkan setidaknya 500 UV, namun hanya bertahan beberapa minggu tiba-tiba SERP-nya anjlok tanpa notifikasi apapun dari Google di GWT (Google Webmaster Tool). Ketiadaan notifikasi ini membuat saya harus menganalisa sendiri apa penyebab SERP yang anjlok tiba-tiba itu. Setelah berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi ternyata sia-sia, pada akhirnya blog itu tidak mendatangkan visitor yang layak untuk dimonetisasi hingga saya putuskan untuk menghapusnya.
Memang ada niche tertentu yang masih longgar dan lebih mudah digarap, namun ketersediaaan produk niche tersebut di Lazada kurang potensial. Kenapa kurang potensial? Karena produknya tidak unik, massal. Di toko manapun produk tersebut bisa didapat dengan harga yang tak jauh beda. Lantas apa alasan konsumen membeli produk tersebut di Lazada? Terus terang saya tidak cukup yakin dengan potensinya.
Di Amazon tidak demikian, hampir setiap kategori produk di sana selalu ada item-item yang khas dan bahkan secara eksklusif dijual di Amazon. Karena itu potensinya sangat besar dan banyak niche yang bisa dieksplorasi.
Namun hal-hal tersebut bukan satu-satunya tantangan yang ada di depan mata. Sebab belajar dari pengalaman saya menjadi publisher Lazada sebelumnya, karakter afiliasi Lazada ini berbeda jauh dengan Amazon.
Well, memang seperti sudah disebut pada tulisan sebelumnya bahwa saya belum serius di Lazada dan baru sekali payout dengan nilai yang bahkan tak sampai Rp 1 juta. Namun bukan berarti tidak ada yang saya pelajari dari pengalaman tersebut.
Platform dashboard baru Lazada menurut saya yang terbiasa dengan dashboard dan report Amazon selama bertahun-tahun kurang informatif bagi publisher. Sampai saat ini publisher tidak mendapatkan report barang-barang apa yang berhasil dijualnya. Memang kita bisa meletakkan source atau id yang fungsinya kurang lebih sama dengan tag pada Amazon untuk catatan pribadi dari mana penjualan itu berasal.
Namun demikian fasilitas itu tidak memberikan informasi yang dibutuhkan, sebab meski dari id atau source tersebut kita tahu blog mana penjualan itu terjadi namun tetap tidak bisa dijadikan patokan. Mungkin memang pembeli masuk lewat blog kita yang topiknya peralatan rumah tanggan misalnya, namun bukan berarti ketika sampai ke Lazada yang bersangkutan membeli peralatan rumah tangga. Bisa jadi dan sangat mungkin terjadi pembeli melakukan browsing di website tersebut dan akhirnya memutuskan membeli aksesoris kendaraan misalnya.
Ketiadaan informasi mengenai item produk yang terjual ini jelas sangat merugikan dan membuang waktu. Sebab kalau sebagai publisher kita tahun produk mana yang paling banyak kita jual selama ini tentulah kita bisa melakukan optimasi yang lebih baik ketimbang sekedar mencoba-coba dan menebak-tebak.
Masalah kedua adalah tingkat rejected transaksi yang masih tetap tinggi pada platform baru ini. Saya tidak tahu dan tidak bisa memastikan latar belakangnya. Bisa jadi masalah ada pada platform tersebut, bisa jadi ada pada perilaku konsumen. Namun karena saya tidak mau menjelek-jelekkan Lazada lebih-lebih tanpa bukti maka asumsi saya kondisi itu dilatarbelakangi oleh perilaku konsumen.
Di Amazon memang hampir setiap bulan ada pengurangan komisi akibat barang yang dikembalikan oleh konsumen. Namun selama bertahun-tahun bersama Amazon menurut saya jumlahnya selalu kecil, jauh lebih kecil dari Lazada. Karena itu sebagai orang yang masih baru mengenal Lazada jujur saja saya sering mengalami kekecewaan ketika report validasi transaksi muncul setiap bulan, sebab jumlah rejected-nya sangat tinggi, jauh dari ekspektasi saya sendiri.
Seperti sudah saya sebut bahwa bisa jadi kondisi ini dilatarbelakangi oleh perilaku konsumen di Indonesia yang berbeda sama sekali dengan konsumen di US atau negara-negara Eropa.
Rejected pada report validasi transaksi itu bisa jadi dilatarbelakangi oleh beberapa hal seperti konsumen membatalkan pembelian karena tidak puas terhadap produknya (retur), atau bisa jadi juga mereka sekedar iseng klik sana klik sini, add to chart namun kemudian logout begitu saja tanpa melakukan penutupan transaksi.
Awalnya saya pikir kondisi dimana calon pembeli sekedar iseng dan tidak menutup transaksi bakal kecil jumlahnya mengingat untuk belanja di Lazada orang harus membuat akun dengan mengisi data dan sebagainya yang kurang lebih sama seperti Amazon. Tapi melihat tingkat transaksi yang tidak tervalidasi yang tinggi, dan tingkat keisengan orang Indonesia yang harus diakui memang tinggi maka besar kemungkinan kondisi inilah yang menjadikan tingkat validasi komisi Lazada menjadi rendah dibandingkan Amazon.
Beberapa teman menilai rendahnya jumlah transaksi yang ditutup akibat ketidakpercayaan konsumen Indonesia terhadap toko online. Bagi saya pribadi pendapat itu ada benarnya namun tidak sepenuhnya benar. Kalau dibandingkan dengan kepercayaan konsumen terhadap toko online di AS, Euro atau AUS mungkin memang masih jauh, wajar saja regulasinya beda.
Di Australia jangankan toko online, toko tradisional saja (offline) berdasarkan UU Perlindungan Konsumen wajib menerima pembatalan transaksi dari konsumen dengan alasan apapun. Sementara di Indonesia toko offline saja tak sedikit yang menulis “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”.
Tapi jangan semata-mata salahkan penjual, sebab ya itu tadi, karakter dan etika konsumen Indonesia pun beda jauh dengan di sana. Jika kebijakan serupa diberlakukan di Indonesia bisa-bisa para retailer bangkrut dalam waktu singkat.
Terlepas dari pada itu, indikator paling sederhana adalah FJB di Kaskus. Saya tahu sendiri ada banyak orang yang sukses bukan sekedar mencukupi kebutuhan sehari-hari namun bahkan memperoleh penghasilan jauh di atas rata-rata pendapatan penduduk Indonesia “hanya” dengan menjadi seller di forum tersebut.
Dari situ saja bisa dilihat bahwa tingkat kepercayaan konsumen Indonesia terhadap toko online serta potensi toko online di Indonesia sangatlah besar.
Jika FJB Kaskus saja bisa mendatangkan jumlah transaksi yang sangat besar padahal rata-rata penjualnya adalah perorangan maka logikanya Lazada yang adalah perusahaan besar dan kredibilitasnya sudah teruji mestinya mendapat kepercayaan lebih tinggi dari calon konsumen.
Dalam sudut pandang saya selaku publsiher (bukan konsumen) yang selama bertahun-tahun sudah akrab dengan Amazon memang ada beberapa hal yang membuat saya kurang “sreg” dengan Lazada. Namun berhubung saat ini belum ada pilihan lain maka saya putuskan jalani dulu yang ada. Toh kalaupun nantinya komisi dari Lazada tidak sesuai harapan atau tidak sebanding dengan kerja keras saya dalam membangun blog plus biaya-biaya lainnya masih tetap ada peluang dimonetisasi dengan AdSense. Bahkan pilihan terburuk pun masih memungkinkan bagi saya untuk menjual blog ini.
Ada alternatif lain afiliasi Indonesia yang mirip dengan Lazada yaitu afiliasi Bhinneka. Di mata konsumen memang antara Lazada dan Bhinneka bisa dianggap saling mensubstitusi, namun sayangnya di mata publisher tidak demikian.
Range products Bhinneka sejauh ini lebih baik ketimbang Lazada, untuk perangkat elektroni seperti laptop, tablet dan smartphone misalnya banyak item yang sudah ada cukup lama di Bhinneka namun belum muncul juga di Lazada.
Sayangnya komisi dari Bhinneka sangatlah minim, yaitu 0.5% saja, sementara di Lazada 2.5%. Terus terang komisi afiliasi yang diberikan oleh Bhinneka menurut saya pribadi kurang manusiawi, tidak sebanding dengan hasil kerja keras dan biaya-baya yang dikeluarkan oleh publisher dalam membangun sebuah blog.
Tapi jika Anda berpendapat lain maka tak ada salahnya mencoba, saya sendiri sempat mencoba dan validasi transaksinya memang lebih tinggi dari Lazada. Pada akhirnya semua kembali pada preferensi dan pertimbangan masing-masing publisher.
Sounds complicated? Ya! Memang begitu adanya. Itulah mengapa saya bilang dari dulu semua pekerjaan ada tantangan, peluang dan resikonya sendiri-sendiri. Orang berpikir bahwa cari duit online lebih enak karena waktunya bisa diatur sendiri, namun tidak sesederhana itu bukan? Jika sederhana maka tak bakal banyak orang berkeluh kesah dan putus asa di forum-forum atau group-group bisnis online!
Kerja keras siang-malam, riset, bikin artikel, bangun jaringan backlink, keluar biaya ini itu belum tentu hasilnya sepadan. Beberapa bahkan tidak mendapat hasil sama sekali! Beda dengan usaha mada to order misalnya yang begitu Anda bekerja sudah pasti pada akhirnya bakal menerima bayaran. Jadi kalau Anda berpikir terjun ke dunia IM untuk bisa “bersantai” mending lupakan saja. Bukan seperti itu cara kerjanya.
Semua profesi ada tantangannya, ada kesulitannya jadi yang paling bijak bukan memilih pekerjaan dengan tantangan paling sedikit melainkan pekerjaan dimana Anda merasa senang serta selalu merasa tertantang menggeluti tantangan-tantangan yang muncul.
Saya sudah pernah jadi pegawai kantoran, pernah usaha offline dan kini profesi IM adalah dimana hati saya berada. Ya.. ada kalanya saya sendiri merasa putus asa sebagai IMer, namun sampai hari ini kondisi-kondisi apapun tak membuat saya berhenti berusaha dan mencari jawaban dari setiap tantangan yang ada. Itu sebabnya saya dengan yakin mengatakan bahwa di sinilah passion saya dengan segala kesulitan dan peluangnya.
Passion memang tak menjamin kesuksesan, demikian pula kerja keras juga tak menjamin sukses sebab hanya Tuhan lah yang berhak menjamin kesuksesan tentu sesuai rancangannya bagi kita serta peran kita di dunia yang dikehendaki oleh Nya. Karenanya saya percaya, bidang apapun yang saya pilih sebagai profesi hasil akhir atau kesuksesan yang bakal saya capai pada akhirnya adalah sama. Kesuksesan bukanlah hasil kerja keras kita sebagai manusia dalam pandangan saya, melainkan semata-mata adalah berkat kasih Allah dan rancangan Nya bagi kita. Namun kerja keras tetap merupakan kewajiban, sebab itu memang yang dikehendaki Allah dari setiap manusia.
Pastinya dengan passion saya tak pernah kehabisan bahan bakar untuk menghadapi dan mencari solusi dari setiap tantangan yang ada pada profesi pilihan saya ini.
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A