Belakangan ini beberapa sorotan mengenai guru yang harus berurusan dengan penegak hukum karena laporan dari orang tua siswa demikian menjadi buah bibir. Setidaknya dari pemahaman saya ada dua kasus terkini, dan yang terakhir adalah ketidaksepahaman antara orang tua dan guru di Sidoarjo.
Saking banyaknya sorotan akhirnya muncul pula pendukung dari masing-masing pihak baik yang mendukung sang guru maupun orang tua. Awalnya saya sendiri tidak terlalu berminat untuk beropini, ada memang opini pribadi tapi hanya sekedar disimpan sendiri. Bagaimanapun munculnya tingkah polah para pendukung masing-masing pihak yang semakin lama semakin lebay membuat tangan saya gatal untuk menuangkan opini tersebut.
“The loudest people often also the dumbest!” Seketika pernyataan tersebut muncul dalam benak saya manakala mendengar opini, pendapat atau pernyataan dari para pendukung masing-masing pihak. Hal paling menggelikan yang paling saya ingat adalah pernyataan pendukung pihak guru agar para orang tua yang tidak terima anaknya ditegur oleh guru tidak usah menyekolahkan anaknya, tidak usah mengharapkan ijazah dan seterusnya. Bukan cuma menggelikan tapi sekaligus cengeng!
Menegur memang merupakan bagian dari pendidikan entah pendidikan itu dilakukan oleh orang tua maupun guru. Namun menegur tidak sama artinya dengan melakukan kekerasan atau mempermalukan seorang anak. Guru yang mencubit siswa (kalau memang benar terjadi) kemudian “dihaluskan” menjadi menegur terasa menyepelekan. Entah cubitan itu meninggalkan bekas atau tidak, menimbulkan sakit secara fisik atau tidak jelas tetap merupakan kekerasan yang sekaligus menorehkan rasa malu pada anak yang bersangkutan.
“Mencubit dalam koridor mendidik” yang diungkapkan oleh salah satu pendukung guru di Sidoarjo lagi-lagi dimata saya merupakan bukti ketidakpekaan seorang manusia apalagi jika yang bersangkutan adalah pendidik. Kekerasan dan mempermalukan tidak seharusnya menjadi bagian dari pendidikan.
Well, sebagai generasi X saya mengalami kondisi yang berbeda, saya cukup paham jika cukup banyak mereka yang sepantaran dengan saya kemudian menceritakan masa lalunya dimana orang tua justru naik pitam kepada anaknya ketika si anak mendapat hukuman fisik dari guru di sekolah. Alasannya bikin malu orang tua lah, harusnya malu pada diri sendiri lah dan sebagainya. Bagaimanapun yang tidak saya pahami adalah kebanggaan orang tua-orang tua tertentu masa kini terhadap situasi tersebut, kebanggaan karena pada masanya kalau mengadu ke orang tua justru makin dicaci, kebanggaan kalau di masanya jangankan mencubit bahkan guru menampar dengan penggaris pun dimaklumi. Sorry to say, tapi pernyataan semacam itu bagi saya adalah pernyataan bebal!!
Saya prihatin dan sangat prihatin dengan nasib beberapa guru yang harus berurusan dengan hukum entah karena mencubit siswa atau tindakan lain dalam rangka menjalankan tugas. Ya, saya pun sependapat jika orang tua yang melaporkan ke polisi sangat berlebihan, lebay kalau generasi milenia bilang… Tapi pada sisi lain saya pun tidak memaklumi tindakan guru yang melakukan kekerasan tersebut.
Pendidikan semestinya dimulai dengan rasa hormat, murid menghormati guru namun demikian pula guru menghormati murid. Di rumah pun sama, orang tua menghormati anak dan sebaliknya anak menghormati orang tua. Anak mempelajari sesuatu bukan dari apa yang dikatakan atau diperintahkan orang tua/guru namun dari apa yang dilihatnya. Jika orang tua/guru tak mampu menghargai anak bagaimana si anak bakal belajar menghargai? Lantas kalau anak tidak menghargai solusinya dipukul dengan penggaris?
Tough love menjadi “senjata” andalan baby boomers dalam mendidik, dan kita generasi X mungkin juga beberapa generasi Y adalah bahan percobaannya. Namun bukan berarti kala kita diposisikan sebagai orang tua, sebagai pendidik atau panutan lainnya serta merta mewarisi keyakinan tersebut tanpa melakukan evaluasi, tanpa meng-update ilmu.
Ketika anak dihukum oleh guru di sekolah orang tua yang kemudian ikut marah kepada si anak jelas bukan sikap bijaksana. Orang tua macam ini adalah mereka yang tidak mampu mengendalikan diri, tidak memiliki empati. Bahkan jika si anak memang salah bukankah ia sudah menerima hukumannya di sekolah? Apa manfaatnya memberi hukuman lagi entah dengan marah atau sikap ketus lainnya? Bagi saya orang tua semacam ini adalah orang tua yang belum matang dalam mengendalikan dirinya sendiri sehingga rasa malu, rasa kecewa dan sebagainya demikian mudah menguasai yang bersangkutan.
Pada sisi lain orang tua yang kemudian secara buta melakukan pembelaan terhadap anak lebih-lebih secara berlebihan seperti melaporkan ke polisi juga sama tidak bijaksananya. Kenapa? Karena mereka tidak membiarkan anak memahami konsekuensi dari sebuah tindakan, tidak mengajarkan anak untuk memikul tanggung jawab. Kalaupun si guru dinilai tidak benar maka tidak semestinya tindakan dilakukan terang-terangan di depan anak sehingga anak merasa apapun tindakannya bakal mendapat pembelaan.
Orang tua model pertama adalah orang tua yang ingin melepaskan diri dari tanggung jawab, ia membiarkan anak bertanggung jawab sendiri, mengatasi perasaan sendiri sebab orang tuanya tak mampu membantu. Sementara orang tua model kedua adalah orang tua yang memberi kemanjaan kepada anak hingga pada batas seorang anak tak merasa perlu memikul tanggung jawab atau menghadapi konsekuensi dari sebuah tindakan.
Semestinya orang tua memahami bahwa anak telah dihukum, titik! Selesai sudah penghukuman itu sampai disitu. Selanjutnya yang menjadi tanggung jawab orang tua adalah membantu anak memahami alasan ia mendapat hukuman, membantu anak melewati proses untuk mengatasi rasa malu atau kecewa sehingga keadaan itu bisa menjadi pembelajaran.
Kalaupun perlu klarifikasi dari pihak guru bukannya bisa dilakukan secara kekeluargaan? Datangi di sekolah tanpa si anak tahu agar ia tidak menyalahartikan sebagai pembelaan buta. Kenapa di sekolah? Karena logikanya hukuman itu dilakukan dalam rangka menjalankan tugas maka sekolah sebagai tempat kerja yang bersangkutan adalah pilihan yang paling tepat. Bukan datangi ke rumah, apalagi dengan emosi tuduh sana-sini.
Sejak usia dini membantu anak memahami sebuah proses memang bagian dari kelemahan pendidikan terutama dari sisi orang tua. Karena untuk menyederhanakan tugasnya sendiri orang tua sering menggunakan hukuman dan melakukan koreksi tindakan anak sejak usia dini. Bahkan pada masanya jika anak mengalami tantrum yang notabene adalah wajar, orang tua yang semestinya membantu anak mengatasi emosi yang dirasakan acapkali justru ikut mengalami tantrum. Akibatnya proses pematangan emosional anak tidak tuntas dan terbawa hingga masa dewasa.
“Tough love” sebagai bagian dari pendidikan yang dilakukan oleh generasi baby boomers rasanya sudah tidak relevan untuk saat ini. Jangan menyamakan generasi yang satu dengan generasi yang lain. Tantangan tiap generasi beda! Sebagian besar dari kita merasa jengah ketika dulu generasi baby boomers membanding-bandingkan masa mudanya dengan masa kita.
“Dulu jaman bapak begini… jaman mbah begitu… jaman pakdhe beginul… dan seterusnya”
Janganlah kita melanjutkan tradisi tersebut, ya saya tahu dan banyak melihat sendiri tidak sedikit tingkah anak usia SD atau SMP yang kelewatan mulai dari mengemudikan kendaraan bermotor secara ceroboh atau bahkan ugal-ugalan, merokok, bahkan terakhir video yang terunggah di Youtube demikian mengiris hati karena anak-anak seusia itu bersikap jauh dari kewajaran. Namun itu masalah yang berbeda, tidak bisa kondisi itu dijadikan titik tolak alasan mempermalukan anak atau melakukan kekerasan kepadanya. Orang tua dan lingkungan juga adalah yang pertama-tama bertanggung jawab, tidak bisa sekedar menyalahkan. Generasi masa kini menghadapi tantangan yang lebih kompleks. Banjir informasi, koneksi internet dan sebagainya jangan dianggap sebagai kemudahan semata bagi generasi masa ini, mereka juga merasakan tantangan, godaan dan kesulitan yang lebih kompleks. Jangan dikira hanya orang tua dan guru saja yang direpotkan, berempati jualah dengan memahami kebingungan mereka mencerna serta mengolah berbagai informasi tersebut lebih-lebih jika orang tua serta lingkungannya tidak kredibel dalam menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk perkembangan mereka ini.
Bisa dipahami jika sebagian besar dari kita generasi X dan Y berpikir bahwa “tough love” adalah kondisi wajar dimana orang tua lepas tangan kala anak mengalami proses pemahaman tertentu lebih-lebih terkait emosi. Dimana orang tua dan guru boleh memberi penilaian, bahkan boleh menggunakan kalimat-kalimat yang “menjatuhkan” dengan alasan melatih mental.
Namun jangan lupa dibalik sikap “tough love” tersebut berkembang juga suara dalam hati anak yang bersangkutan bahwa dalam dirinya ada sesuatu yang salah, bahwa dirinya tak cukup berharga, kebutuhan agar tindakannya diterima oleh orang lain dan sebagainya. Ingat jangan gunakan tolok ukur sukses finansial atau karir sebagai hasil dari pendidikan. Siapa yang tahu suara hati yang dipendam oleh seseorang? Toh tidak jarang pencapaian-pencapaian artificial tertentu seperti karir justru sering dijadikan sebagai pelarian bagi seseorang yang merasa kehilangan atau kekurangan sesuatu di dalam dirinya.
Kekerasan, hukuman atau apapun yang berakibat mempermalukan anak tidak membuat mentalnya menjadi teruji, kuat dan sebagainya. Apa yang Anda rasakan jika dipermalukan? Tahan uji? Berani anda sekarang menjawab secara jujur pertanyaan tersebut dan bukan sok “tough”? Pribadi yang dipermalukan bisa jadi merasakan rendah diri, menyimpan dendam atau amarah. Mental dan kebencian macam itu yang ingin kita ciptakan pada seorang anak?
Mengajarkan bahwa setiap tindakan ada konsekuensi, ada tanggung jawab yang harus dipikul memang sudah semestinya, tapi bukan dengan mempermalukan, bukan dengan kekerasan seperti mencubit, menjewer dan sebagainya. Tindakan macam ini justru mengajarkan anak bahwa menggunakan kekerasan, sikap atau kata-kata kasar serta mempermalukan orang lain adalah solusi wajar.
Pendidikan baik oleh guru maupun orang tua mestinya menjadi sebuah lingkungan yang suportif, termasuk dalam membantu emosi-emosi yang sedang berkembang dalam setiap rentang usia agar pribadi-pribadi yang bersangkutan sungguh-sungguh mampu memahami emosi yang pada akhirnya memahami pula cara mengelola emosi atau perasaan tersebut. Bukan dengan kata-kata ketus yang seolah menyuratkan agar si anak kuat secara mental padahal sebenarnya sekedar pelarian orang tua yang tidak mampu memberi dukungan.
Orang tua maupun harus mendidik mula-mula lewat sikap dan perilakunya sendiri bukan dengan kata-kata atau cerita. Lihat sikap Anda sendiri kala menghadapi tekanan, kala menghadapi konflik, kala merasa kecewa dan sebagainya itulah yang akan dilihat dan besar kemungkinan ditiru oleh anak-anak kita masing-masing. Bagaimana pula sikap Anda kala harus melakukan percakapan dengan anak pada subjek yang mungkin membuat Anda merasa tidak nyaman?
Tidak sabar/marah kemudian dimanifestasikan lewat kekerasan, mencubit, membentak atau apapun yang berakibat mempermalukan anak sama artinya mengajarkan anak bahwa sikap-sikap tersebut merupakan solusi kala dirinya tak mampu mengatasi emosi.
Proses tersebut hanya bisa dicapai jika mula-mula baik orang tua maupun guru menghargai anak atau siswa didik. Lebih-lebih sebagai orang tua, jangan sekedar ingin memosisikan diri sebagai mentor sebab peran mentor akan segera berlalu seiring dengan usia dan pengalaman anak. Namun jika kita memosisikan sebagai seseorang yang bisa dipercaya maka relasi yang tercipta rasanya lebih langgeng.
Masa kecil, masa remaja atau masa muda kita bisa jadi bukan contoh terbaik bagi anak-anak kita. Jadi jangan sembarangan menurunkan sesuatu sebelum melakukan analisis dan evaluasi. “Tough love” pada dasarnya adalah tirani orang tua/guru terhadap anak yang muncul karena ketidakmampuan orang tua/guru yang bersangkutan. Tirani muncul karena orang tua/anak sekedar melihat sisi pandang dirinya adalah yang paling benar sementara anak dianggap sebagai pemberontak tanpa memahami latar belakang tindakan anak yang bersangkutan. Mengapa dia melakukan itu? Apa yang ada dalam pikirannya? Acapkali jika Anda mau meluangkan waktu untuk memahami lewat percakapan dengan anak yang bersangkutan Anda bakal terkejut karena si anak memiliki alasan yang berbeda dari apa yang kita sangka sebelumnya. Jangan lihat outputnya atau tindakannya namun pahami lebih dahulu alasannya.
Perlu dipahami oleh orang tua maupun guru bahwa pada anak terlebih usia dini, melakukan sebuah tindakan yang pada kacamata orang dewasa sebagai tindakan memberontak atau tepatnya misbehave tidak selalu karena motivasi negatif namun acapkali merupakan bagian dari pembelajaran dalam dirinya. Apa yang tidak pantas dilakukan olehnya adalah tidak pantas dalam takaran orang dewasa, namun pantas dalam ukuran anak seusianya. Kemungkinan lain anak bersikap misbehave dalam kacamata orang dewasa dimotivasi oleh kebutuhan (dasar) tertentu yang tidak terpenuhi entah itu perhatian, lapar, terlalu lelah mengalami terlalu banyak stimulasi dan sebagainya. Tingkah-tingkah semacam itu acapkali merupakan bentuk komunikasi mengingat kemampuan komunikasi seorang anak masih dalam proses belajar. Ah.. ngga bukan cuma anak, tuh Anda sendiri para orang dewasa bukannya sering tidak mampu berkomunikasi dan mengungkapkan dengan kemarahan? Wajar toh kalau anak demikian?
Hukuman kepada anak entah dilakukan oleh guru maupun orang tua harus dipahami membawa konsekuensi negatif bahkan cenderung berbahaya bagi anak secara emosional. Kalau Anda para orang tua dan guru/pendidik balita mau meluangkan waktu membaca buku berjudul “Zero to Five” tulisan Tracy Cutchlow, rasanya Anda akan merasa bahwa apa yang ia sampaikan sangat masuk akal. Dalam bukunya itu sang penulis berpendapat bahwa hukuman dalam bentuk apapun hanya akan membawa anak pada kondisi membutuhkan persetujuan orang lain. Masuk akal bukan? Lihat saja saat ini kebanyakan dari Anda (saya sih tidak) yang sudah dewasa diakui atau tidak senantiasa mencari persetujuan-persetujuan tersebut dalam tindakan atau keputusan yang dibuat.
Lebih lanjut Tracy Cutchlow menjabarkan efek samping lain dari hukuman adalah menjadikan anak tidak mampu memahami nilai moral dari sebuah tindakan. Akibatnya ia hanya bersikap baik atau sesuai norma jika ada yang mengawasi. Lagi-lagi ini khas masyarakat kita, hanya tertib kalau ada pengawasan, kalau ada hukuman dan sebagainya. Kalau tidak ada yang lihat ya semaunya sendiri mulai dari kebiasaan buang sampah, tertib berlalu-lintas dan masih banyak lagi. Mau gaya pendidikan semacam ini diwariskan ke anak cucu kita?
Buku yang dimaksud memang ditujukan sebenarnya untuk orang tua dan guru yang membimbing anak balita, padahal kasus-kasus yang terjadi dewasa ini adalah pada anak usia pra premaja. Memang saya sengaja singgung disini karena proses mendidik anak sejak usia 0 membawa dampak berkesinambungan dalam tahap perkembangan berikutnya. Hanya dari dua paragraf sebelumnya saja rasanya Anda sudah cukup paham apa yang dimaksud.
Anak juga adalah manusia, manusia yang sedang belajar. Wajar jika ia memiliki sisi pandangnya sendiri, salah satu filosofi yang seharusnya dipegang orang tua dan pendidik adalah: guide, don’t teach!
Jadi maaf saja sekali lagi bukan saya tidak bersimpati kepada guru yang konon menurut headline lebay beberapa media bakal terancam dipenjara. Bahkan saya merasa iba terhadap kondisi yang harus dialami oleh yang bersangkutan. Namun memang tindakan kekerasan (jika memang dilakukan) entah itu mencubit dan sebagainya tidak bisa dibenarkan dalam koridor apapun. Demikian pula dengan orang tua yang bersikap lebay dengan melaporkan guru ke polisi sama saja. Sama-sama cengeng dan sama-sama layak disebut dumb & dumber!
But then again, mengutip kata-kata Frederick Douglass: “It is easier to build strong children than to repair broken men”. Mayoritas orang dewasa yang terlibat sudah dalam kategori broken atau kadung kalau orang Jawa bilang, terlanjur. Sudah terbiasa defensif mempertahankan ego masing-masing, telanjur biasa komentar mandul seperti: “jaman saya dulu…” dan sebagainya. Berapa prosen yang mau belajar psikologi perkembangan anak tahap demi tahap? Berapa banyak yang mau memahami bahwa humiliating bukan bagian dari pendidikan? Lebih banyak yang asal bunyi tanpa solusi kan?
Memahami anak memang tidak gampang, apalagi mendidik. Makanya saya selalu bilang kalau tidak mau belajar, tidak mau update ilmu ngga usahlah jadi orang tua, demikian pula kalau tidak mau repot mengurus anak didik jangan pilih profesi pendidik. Semua profesi toh ada tantangannya masing-masing, pilih saja profesi yang memang tantangannya bisa dinikmati sesuai preferensi masing-masing ketimbang dikemudian hari mengeluh cengeng.
Dalam kacamata saya sebagai orang tua sebenarnya memiliki anak sama juga memberi kita kesempatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Sebab alih-alih bersikap tirani dan melihat tingkah polah anak sebagai pemberontak jauh lebih bijak jika kita memperbaiki sikap (attitude) sendiri, mengubah perspektif bukan semata-mata merasa benar sendiri, memperbaiki kebiasaan kita. Sebab pada anak usia muda faktanya ketiga hal yang kita miliki tersebut berkorelasi kuat dengan sikap dan kebiasaan yang mereka lakukan pula. Itulah dasar bagi anak untuk nantinya mengembangkan diri pada usia yang lebih matang.
Jadi alih-alih mengomentari perilaku negatif anak, tengoklah apa yang dia pelajari dari orang tua, saudara, lingkungan, sekolah dan sebagainya. Alih-alih memosisikan diri sebagai pihak yang merasa harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki sikap anak, bercerminlah dulu masing-masing mengenai attitude dan kebiasaan sehari-hari. Komentar, kritik, mempermalukan dan sejenisnya tak lebih dari tindakan mandul yang justru berdampak makin buruk. Mendidik dan membesarkan anak itu jauh lebih kompleks ketimbang sekedar manajemen rewards & punishment.
Artikel terkait:
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A