Beberapa waktu lalu saat tram yang kami naiki sampai di Stop 10 (Bourke Street Mall x Swanston St.), dari jendela tampak seorang kakek tua ± sekitar 80 tahunan dengan alat bantu jalan (adult walker) mencoba naik ke tram. Dari barang yang dibawanya sepertinya si kakek baru saja berbelanja di City.

kakek tuaSeorang lelaki muda menghampiri si kakek dan membantu menaikkan wheeled walker-nya ke atas tram sementara tangan sebelahnya mencoba menggandeng si kakek untuk membantu naik ke atas tram. Di atas tram suami saya yang duduk tak jauh dari tempat itu menerima dan menahan wheeled walker si kakek sementara si kakek yang sudah di atas tram mencoba memegang kembali alat bantu jalannya sambil mencari tempat duduk.

Di sebuah bangku di atas tram, seorang lelaki muda lain menghampiri dan membantu si kakek yang nampak sedang menunju ke bangku tepat di depan pemuda itu duduk. Akhirnya si kakek berhasil duduk dan alat bantu jalannya (wheeled walker) sudah berada dalam posisi yang aman. Sementara si pemuda pertama yang membantu si kakek dan alat bantu jalannya naik ke tram kini sudah pergi. Ternyata pemuda tersebut sekedar membantu si kakek dan tidak hendak naik ke tram ini.

Tram kemudian melanjutkan perjalanan dan semuanya berjalan seperti biasa.

Setelah duduk di tram si kakek nampak kelelahan, beliau berusaha membuka tutup botol air minum (AMDK) namun tidak kuat. Pemuda di depannya menawarkan bantuan, membuka tutup botol dan menyerahkan kepada si kakek. Si kakek berterima kasih lalu selesai!

Saya berpikir, andaikata di Indonesia apa kira-kira yang akan terjadi dalam situasi yang sama. Mungkin kira-kira seperti ini:

Skenario Pertama

Seorang pemuda yang melihat kakek tersebut hendak naik ke atas tram melihat dan dalam hati berkata:
“Kasihan si kakek…”
“Ah saya tergesa, mestinya seseorang di dalam tram turun akan menolongnya”

Sementara orang lain dalam hati berkata:
“Bagaimana ini pemerintah… tidak memikirkan keselamatan transportasi publik untuk orang lnajut usia ” (=> gaya khas orang Indonesia… sedikit-sedikit pemerintah inilah, pemerintah itulah tapi diri sendiri tidak bertindak :pusing: )

Skenario Kedua

Seseorang di dalam tram yang melihat si kakek merasa iba lalu mendekat dan memberikan pertolongan.

Setelah si kakek berhasil duduk dan tram berjalan seseorang di depannya bertanya:
“Lha putrane pundi mbah”
“Nyambut damel sedaya” Jawab si kakek.
“Lha boten gadah putu?” Sambung orang tadi
“Tasih tilem” Jawab si kakek
Orang yang tadi bertanya lalu melanjutkan:
“Lha wong mbahe pun sepuh kok putune boten ngeterke”
“Piye to anak karo putune kok ora podho pangerten karo wong tuwo”
(=> lagi-lagi khas orang kita yang mudah melakukan judgment, terlalu mencampuri urusan orang tanpa tahu fakta sebenarnya. Hanya mengandalkan persepsi! :swt: )

Belum cukup melakukan judgment asal-asalan, sampai di rumah orang tadi bercerita ke keluarga bahkan tetangga-tetangganya betapa kurang ajarnya anak dan cucu si kakek tadi karena membiarkan kakek tua renta belanja sendiri.

Cerita sudah sampai kemana-mana padahal semua hanya berdasarkan persepsi tanpa tahu kondisi yang sebenarnya apalagi cross check ke anak dan cucu kakek tadi.

Skenario Ketiga

Seorang pemuda yang kebetulan ada di Tram Stop membantu dari awal hingga si kakek berhasil duduk. Lalu tetap berdiri setengah berharap mendapat beberapa lembar rupiah dari si kakek sebagai imbalan atas “jasa” nya :bosan: .

Ini yang saya pikirkan

Pemandangan seperti di atas menjadi sesuatu yang sangat lumrah kami lihat sejak pertama kali tiba di sini (Melbourne). Kita (masyarakat timur) sering mengasumsikan diri sebagai masyarakat yang sopan, saling menghargai dan mengedepankan gotong royong dibanding masyarakat barat yang lebih individualis.

Faktanya selama kami berada di sini dan demikian pula cerita dari yang saya dengar dari suami yang pernah ke sini sebelumnya pandangan tersebut tidak bisa sepenuhnya dibenarkan ataupun tidak dibenarkan.

Pertama. Sopan santun faktanya adalah hal yang relatif, masyarakat barat maupun timur memiliki tolok ukur yang berbeda mengenai sopan santun. Apa yang sopan menurut pandangan timur dalam beberapa hal justru tidak sopan menurut pandangan barat, demikian pula sebaliknya. Bahkan sama-sama orang timur pun perspektif dan kriteria mengenai sopan santun bisa jadi bertolak belakang antara kultur yang satu dengan kultur yang lain. Jadi rasanya tak cukup pantas jika kita merasa diri “lebih sopan” ketimbang orang barat.

Kedua. Rasanya kita terbiasa untuk menilai dan berasumsi ketimbang bertindak, atau bertindak namun mengharapkan sesuatu di belakangnya.

Penilaian prematur dan asumsi sedemikian melekatnya pada sebagian besar orang sehingga tidak mengherankan jika isu-isu kecil bisa berkembang menjadi sedemikian besar dengan berbagai “bumbunya” masing-masing.
Kadang saya bertanya:
“Terlalu malaskah mereka ini untuk berpikir dan menganalisa?”
“Terlalu malaskah untuk mencari tahu fakta dari pihak lain sebelum berasumsi?”
Tapi jika memang terlalu malas untuk semua itu kenapa tidak malas untuk berasumsi dan bergosip sesuatu yang tidak jelas?

Ketiga. Harus diakui bahwa kita di Indonesia terbiasa manja sejak muda. Ketidakseimbangan antara tenaga kerja dengan jumlah lapangan pekerjaan yang begitu signifikan menjadikan begitu murah dan mudahnya mencari tenaga untuk “memanjakan” kita.

Ambil contoh saja di pusat perbelanjaan: sekeluarga berbelanja di mall, selesai berbelanja tinggal menelepon si sopir yang segera memindahkan mobil dari parkiran ke pintu mall. Belum cukup sampai di situ ketika hendak menaikkan barang ke mobil biasanya tukang parkir ikut membantu menaikkan belanjaan tadi ke atas mobil.

Bagi sebagian masyarakat Indonesia mungkin kondisi tersebut terasa wajar dan bukan sebuah kemanjaan. Tapi di sini jangan harap semua itu bisa diperoleh dengan mudah lebih-lebih murah. Seberapapun besar dan banyaknya belanjaan Anda silakan bawa sendiri sampai ke rumah kecuali Anda siap membayar jasa dengan harga yang sangat mahal.

Membawa belanjaan ke rumah pun tidak semua orang menggunakan mobil pribadi, sebagian besar masih harus naik kereta, tram atau bus yang meski nyaman dibanding transportasi publik di Indonesia namun tetap tak menjamin Anda bisa mendapat tempat duduk atau tidak berdesak-desakan.

Di dalam kendaraan umum, orang membawa belanjaan baik yang kecil-kecil sampai yang besar seperti meja sekalipun adalah pemandangan lumrah di sini. Beda dengan di Indonesia yang para pebelanja seringkali masih sempat memikirkan penampilan, di sini umumnya orang belanja bukan untuk “tampil” namun benar-benar berbelanja terkadang bahkan dengan tas di kedua tangan dan punggungnya.

Namun keuntungannya karena terbiasa sejak muda melakukan segala sesuatu sendiri tanpa berharap pertolongan orang lain maka kebiasaan ini tampak terbawa sampai tua bahkan ketika tak sanggup lagi berjalan tanpa alat bantu sekalipun seperti si kakek yang saya sebut di awal tulisan tadi.

Dan orang lanjut usia berbelanja atau bepergian sendiri, mengurus segala keperluan sendiri adalah hal yang sangat wajar dan lumrah di sini. Oke, Anda bisa bilang bahwa sarana dan fasilitas di sini lebih memungkinkan bagi orang lanjut usia untuk mandiri. Namun Anda tak bisa menutup mata bahwa di Indonesia berbagai “kemudahan” terutama bagi mereka yang berada di kelas ekonomi menengah ke atas berperan besar menjadikan orang menjadi manja. Banyak orang tua yang masih dalam usia cukup produktif (50-60an) sudah mulai banyak mengeluh sekedar untuk “mencari-cari perhatian”. Padahal bukan hanya mereka ini masih bisa berjalan tanpa alat bantu, namun mereka juga masih cukup produktif untuk bekerja.

Belajar dari apa yang kami lihat di sini, kami berkomitmen kuat untuk bisa tetap mandiri hingga usia senja nanti, jika Tuhan mengijinkan tentunya.