Seperti sudah diceritakan sebelumnya bahwa akhirnya kami memperoleh tempat tinggal di Melbourne yang lebih permanen. Sebuah unit apartemen yang terletak kurang lebih 2 km dari pusat kota Melbourne (CBD).

Di unit yang kami sewa sebenarnya sudah ada beberapa perabotan, jadi kami hanya perlu menambah dan mengganti beberapa perabotan yang lebih sesuai dengan kebutuhan kami seperti double bed dan tempat tidur bayi (cots) sebagai persiapan kelahiran anak pertama kami awal November nanti.

Berhubung tinggal 10-11 bulan lagi kami berada di Melbourne maka kami berusaha membeli furniture yang tidak terlalu mahal namun bisa bertahan setidaknya dalam kurun waktu tersebut. Pilihannya antara membeli perabotan bekas pakai yang banyak tersedia di Savers dan Salvos atau membeli baru di IKEA.

Setelah melalui berbagai pertimbangan maka pilihan pada akhirnya jatuh pada IKEA. Pertimbangan tersebut antara lain karena kami tak tega juga memberikan tempat tidur (cots) bekas pakai untuk anak kami.

Akhirnya pagi ini meluncurlah kami ke IKEA Richmond yang terletak di dalam kompleks Victoria Gardens Shopping Centre. Mencapai lokasi ini cukup mudah, pada hari kerja bisa naik tram rute 24 dari stop 6 (La Strobe St-Swanston St). Sementara pada akhir pekan bisa menggunakan tram rute 109 dari stop 11 (Collins St). Turunnya di stop 24 yang terletak persis di samping Victoria Shopping Centre.

IKEA Richmond

Meski sudah lama mendengar nama IKEA dan bahkan sering menggunakan perusahaan ini sebagai studi kasus saat berkuliah Magister Manajemen Pemasaran beberapa tahun lalu, namun sejujurnya baru inilah pertama kali saya menginjakkan kaki di salah satu toko IKEA :hmm: .

Maklum saja retail furniture asal Swedia ini belum masuk ke pasar Indonesia. Kalau tidak salah baru pada tahun 2014 nanti IKEA berencana masuk ke pasar Indonesia.

IKEA memang luar biasa dalam mencipta customer experience di tokonya. Ketika masuk pengunjung sudah disediakan peta, pensil dan secarik kertas. Pengunjung kemudian di arahkan melalui jalur yang telah tersedia yang secara tidak langsung “memaksa” pengunjung untuk melalui semua departemen yang ada di toko tersebut.

Namun karena dengan cerdasnya IKEA merancang display maka bukannya merasa “dipaksa” pengunjung justru merasakan sebuah pengalaman belanja yang menyenangkan.

Pada setiap departemen IKEA memberikan miniatur desain penggunaan dan peletakan furnitur IKEA yang pada satu sisi bisa menjadi sumber inspirasi bagi pengunjung dalam mendesain interior rumahnya dan di sisi lain melakukan cross selling produk-produk lainnya.

Jika diperlukan para konsultan interior desain juga ada di toko tersebut untuk memberikan saran cuma-cuma.

Meski knock-down namun jangan bayangkan kualitas produk IKEA seperti produk knock-down yang umum di Indonesia. Kualitas dan kekuatannya jauh berbeda, lebih kuat, lebih solid jadi bukan hanya menarik desainnya saja.

Bukan hanya produknya mudah dimobilisasi karena bersifat knock-down namun berkat sistem toko yang minim layanan maka harganya pun terbilang murah.

Ya harga yang harus dibayar dari “murah” tersebut adalah bahwa pembeli harus melayani dirinya sendiri.

Seperti saya sebut tadi, sebelum masuk ke showroom Anda harus mengambil kertas dan pensil yang sudah disediakan. Fungsinya adalah mencatat kode-kode produk yang Anda kehendaki. Bukan hanya kodenya saja melainkan lokasi dan rak mana tempat produk itu berada harus Anda catat. Mengapa? Karena nanti Anda harus mengambil sendiri produk-produk tersebut di gudang IKEA.

Pada dasarnya ada dua jenis label di showroom IKEA. Label warna kuning artinya Anda perlu meminta tolong karyawan untuk mengambilnya dan warna merah yang berarti Anda harus mengambil sendiri di gudang. Selain itu ada juga beberapa benda belabel putih yang berarti bisa diambil langsung di showroom, biasanya yang berlabel putih adalah benda-benda kecil seperti alas laptop, mainan anak dan sebagainya.

Setelah memperoleh perabotan yang kami butuhkan maka berdasarkan catatan kode dan lokasi produk kami menuju ke gudang (warehouse) untuk menemukan produk dimaksud.

Sebelum sampai ke gudang bisa ditemukan berbagai jenis troli untuk mengangkut belanjaan Anda. Troli mana yang diambil tentu sangat ditentukan oleh benda apa yang akan diambil. Karena belanjaan kami cukup bervariasi maka saya mengambil troli besar yang dikhususkan untuk bed frame dan matras (kasur), sementara istri membawa troli berukuran sedang.

IKEA WarehouseIKEA

Memang semuanya knock-down, namun beberapa barang seperti bed frame dan alasnya, matras bahkan cots memiliki bobot yang cukup berat. Maka ketika sudah terisi penuh, troli yang kami bawa tadi jadi sedikit susah didorong apalagi dibelokkan.

Tinggal di Indonesia sebenarnya cukup menyediakan kemanjaan karena banyak layanan jasa yang bisa diperoleh ketika dibutuhkan. Di sini beda ceritanya, IKEA memang minim layanan karena seperti itulah sistem mereka namun tempat-tempat lain juga terbilang minim layanan jika dibandingkan dengan Indonesia.

Di airport misalnya, kalau di Indonesia Anda bisa dengan mudah mencari portir bahkan seringkali menawarkan diri sebelum diminta. Di sini yang ada hanya troli, silakan ambil sendiri dan dorong sendiri seberapapun beratnya. Layanan jasa adalah sebuah kemewahan di negara maju, berkebalikan dengan Indonesia yang seringkali jasa (apapun bentuknya) sering tak dihargai karena berlimpah.

Karena kondisi semacam inilah banyak orang terbiasa mandiri, di IKEA saya lihat cukup banyak pasangan usia lanjut dan sudah non produktif (pensiunan) berbelanja dan mendorong troli yang sama beratnya atau bahkan lebih berat dari yang saya bawa. Dan pemandangan semacam ini sangat lazim dimanapun di negara ini. Tak sedikit yang saking tuanya bahkan sudah tidak lagi bisa berdiri tegak (bungkuk) namun juga tak kemudian menjadi manja dan tak mampu berbelanja dan mendorong furniture sendiri.

Saya pikir ini bukan semata-mata masalah fisik, namun mental. Rasanya masalah mental dan cengeng ini pulalah yang membuat negara kita selalu tertinggal. Saya sempat berpikir kalau nantinya IKEA jadi masuk Indonesia dengan tetap mengusung konsep seperti ini (minim layanan) apa iya konsumen Indonesia akan mudah menerima? Atau jangan-jangan malah ke IKEA bawa asisten rumah tangga jadi tak perlu angkut-angkut sendiri karena mayoritas masyarakat kolektif kan biasa manja dan jaga gengsi.

Well, kembali ke cerita awal. Setelah membayar di kasir kami membawa perabotan yang dibeli ke loket jasa pengiriman. Total belanjaan kami hari ini tidak sampai A $500, di dalamnya antara lain sudah termasuk tempat tidur ukuran double bergaransi 10 tahun, kasur ukuran double dengan garansi 25 tahun, cots, meja komputer dan beberapa mainan anak.

Saya sempat berkelakar dengan istri, karena kasur yang kami beli bergaransi 25 tahun berarti kalau dititipkan di storage bisa dipakai si Jethro (calon anak pertama kami) nanti kalau kuliah di Melbourne.

Karena kami tidak memiliki kendaraan maka satu-satunya pilihan adalah menggunakan jasa pengiriman, ongkos kirim sangat variatif tergantung tempat tinggal Anda. Karena tinggal di Carlton maka kami kena biaya kirim A $59 yang termasuk murah dibandingkan daerah lain.

Jika Anda tidak bisa atau tidak punya waktu merakit maka Anda bisa menyewa jasa karyawan IKEA untuk produk yang Anda beli. Ongkos merakit untuk sebuah produknya berkisar antara A $20 – $95 tergantung jenis produk. Seperti saya bilang bahwa ongkos jasa di sini sangat mahal.

IKEA juga memberikan penawaran yang sangat menarik, dalam kurun waktu tertentu Anda boleh mengembalikan atau menukarkan produk yang sudah Anda beli. Bukan semata-mata jika karena cacat produksi, namun bahkan jika Anda berubah pikiran sekalipun. Hebat bukan?  Tapi sebenarnya bukan cuma IKEA sih, semua retailer di sini memang begitu sesuai UU Perlindungan Konsumen di sini. Dan ketika kami di IKEA tadi ternyata tak sedikit yang memanfaatkannya, menukar/mengembalikan produk karena berubah pikiran…

Andaikan IKEA ada di Semarang saat kami kembali ke tanah air nanti…