Seperti biasa pergantian tahun bagi sebagian besar orang digunakan untuk melakukan evaluasi berbagai aspek kehidupannya selama setahun sekaligus menetapkan resolusi dan target untuk tahun berikutnya.
Dalam proses refleksi dan evaluasi kali ini saya temukan tiga hal penting yang memengaruhi kualitas hidup sekaligus merupakan kunci yang akan menjadikan hidup menjadi lebih berarti. Ketiga hal tersebut adalah:
Pendidikan. Pendidikan diyakini sebagai sebuah sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Pendidikan diyakini memiliki korelasi terhadap pekerjaan dan selanjutnya pekerjaan diyakini berkorelasi terhadap kemakmuran/kekayaan. Jadi pendidikan merupakan sarana mencapai hidup yang lebih baik dalam kaitannya dengan kemakmuran. Benar demikian? Tidak!
Bagi saya pendidikan memang adalah sarana untuk beroleh hidup yang lebih baik, namun apakah hidup yang lebih baik itu artinya adalah pekerjaan dan ujung-ujungnya kekayaan maka saya tidak sependapat.
Jika kemakmuran/kekayaan adalah tujuan akhir dari pendidikan sebagaimana diyakini selama ini, maka tak heran jika terus menerus muncul birokrat korup, politikus korup, pejabat korup, pegawai korup, pengusaha nakal, beli skripsi, beli thesis, beli disertasi dan bahkan beli gelar.
Diakui atau tidak faktanya sebagian besar orang baik yang sudah bekerja maupun belum masih kuat memegang materi sebagai tujuan akhir pendidikan. Makin banyak pegawai yang sekedar mengejar bonus tinggi, makin banyak pula pengusaha yang berusaha meraup keuntungan dan memperhatikan moral dan etika.
Pendidikan semestinya menjadi sarana “mengolah” setiap individu untuk memiliki pengetahuan, etika, sensitivitas dan pola pikir yang lebih baik. Jika hal tersebut tercapai maka tercapailah tujuan dari sebuah pendidikan.
Pendidikan dan pengetahuan adalah hal yang berharga dalam hidup, namun apakah harga yang dimaksud diartikan sebagai materi? Jika memang demikian semestinya pendidik (guru dan dosen) adalah profesi dengan penghasilan terbesar sebab pengetahuan serta pendidikan mereka terus menerus ter-update.
Passion. Menjadi seorang mediocre bukanlah pilihan bijaksana. Jika mahasiswa hanya berkuliah untuk sekedar mengejar nilai tinggi, cepat lulus cepat mendapat pekerjaan, cepat berumah tangga dan seterusnya maka hasilnya adalah seorang mediocre.
Seorang individu harus memiliki passion, passion dalam hidup maupun dalam pekerjaan yang ditekuni. Untuk menemukan apa yang menjadi passion-nya tentu pertama-tama seseorang harus mengenali, menerima dan mengakui keunikan di dalam dirinya sendiri.
Tempatkan diri sendiri pada posisi sebagai “perancang hidup” bukan sekedar mengikuti kata-kata orang lain dan melewati “jalan” yang sudah ditentukan pula oleh orang lain.
Hidup selalu penuh tantangan dan pembelajaran. Kemudahan dan kesulitan adalah bagian didalam kehidupan. Seseorang yang memiliki passion atas sesuatu akan melihat kesulitan sebagai tantangan menarik yang mendorong dirinya terus menerus berupaya untuk menemukan solusi.
Sebaliknya seorang mediocre yang hidupnya sudah “dirancangkan” oleh orang lain atau sekedar mengikuti kata-kata orang lain akan menemukan kesulitan sebagai sebuah kondisi yang menguras energy dan terus mengasihani diri atas kegagalan serta kesulitan yang dialami.
Temukan passion Anda, tentukan cita-cita setinggi mungkin sesuai apa yang menjadi passion Anda, jangan pernah takut menghadapi resiko-resiko dalam memperjuangkan cita-cita itu. Semakin cepat seseorang menemukan passion-nya maka akan semakin banyak kesempatan pencapaian dalam hidupnya.
Passion akan membawa seseorang pada karakter menentang status quo, berambisi, bersemangat namun sekaligus tekun dan penuh empati.
Memaafkan. Ketika berbicara mengenai “maaf” maka umumnya diasumsikan sebagai hubungan dengan orang lain. Namun yang jauh lebih penting adalah memaafkan diri sendiri.
Jika Anda adalah seorang yang berani mengikuti passion maka dijamin bahwa pada satu fase Anda akan menghadapi kegagalan. Kegagalan dalam bekerja, berbisnis ataupun kegagalan dalam membangun sebuah hubungan. Karena itu sangatlah penting untuk senantiasa memaafkan diri sendiri atas kegagalan yang terjadi dan kemudian… move on!
Ketika menghadapi kegagalan maka seseorang sebenarnya hanya dihadapkan pada dua pilihan: mengasihani diri sendiri dan menyerah atau belajar dan lanjutkan hidup.
Jangan biarkan kegagalan menjadi penjara seumur hidup, kegagalan bukan merupakan akhir dari segala-galanya melainkan sebuah awal terbentuknya kebijaksanaan seseorang.
Antonio Machado, seorang penyair berkata:
“walker, there is no path; the path is made by walking.”
Jadi jangan biarkan pengalaman orang lain menjadi status quo atau “hukum mutlak” yang pasti berlaku juga pada diri Anda. Rancanglah hidupmu sendiri! Jika pengalaman orang lain atau orang lain mengatakan yang Anda lakukan mustahil, jawab saja: “Go to hell!”
Jangan biarkan praduga dan penilaian orang lain memengaruhi keputusan-keputusan dalam hidup. Prinsip yang lebih penting untuk dipegang adalah keyakinan diri sendiri bahwa apa yang kita lakukan adalah berarti dan tidak merugikan orang lain.
Tentu hal-hal di atas bukanlah satu-satunya atau yang terpenting untuk mencapai kehidupan yang lebih bermakna namun bukan pula hal-hal yang bisa dikesampingkan dalam hidup. Tentukan sendiri nilai-nilai yang Anda yakini dan perjuangkan itu. (Satrio)
God is going to take care of us, whether or not we can see down the road.
He will not let us walk in darkness and leave us there alone.
He will not let us walk to a place and abandon us ~The Wicaksonos~