Dalam sebuah ruang rapat beberapa orang tampak berkumpul, satu orang berdiri di depan whiteboard sambil mencorat-coretkan spidol di tangannya sementara beberapa orang lain duduk di kursi melingkari meja dan tampak memperdebatkan sesuatu.
Di tengah-tengah berlangsungnya rapat tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah seseorang yang tanpa mengarahkan pandangan kepada pemimpin rapat maupun peserta rapat yang ada langsung menarik salah satu kursi kosong dan sibuk dengan tablet di tangan.
Secara fisik, ‘sang pendatang’ baru ini ada dalam ruang tersebut namun pikirannya berada di tempat lain. Tak sekalipun ia memperhatikan isu-isu yang sedang dibahas, mengajukan pertanyaan atau memberikan pendapatnya.
Ketika pada akhirnya para perserta rapat bersepakat dan hendak mengambil keputusan, sang pemimpin rapat segera menanyakan pendapat ‘sang pendatang’ baru tersebut sebelum keputusan dibuat.
Ternyata ‘sang pendatang’ baru ini tak lain adalah manajer divisi dan para peserta rapat tersebut merupakan tim yang dipimpinnnya.
Sikap dan perilaku demikian sering dijumpai dalam berbagai organisasi. Beberapa orang bisa menerima perilaku pemimpin yang demikian dan memakluminya karena seorang pemimpin pastilah sibuk dengan berbagai urusan.
Bisa saja orang lain memahami perilaku pemimpin yang demikian. Tapi seorang pemimpin yang bersikap seperti ini adalah pemimpin yang tidak memahami bahwa hal-hal dan tindakan-tindakan kecil bisa membawa dampak yang besar.
Pemimpin hendaknya memahami sungguh-sungguh bahwa dirinya bukan sekedar membawa titel sebagai ‘pemimpin’ dan posisinya bukan juga sekedar penghias papan struktur organisasi.
Dewasa ini kualitas kepemimpinan lebih dipertanyakan dibanding masa-masa sebelumnya. Berbagai organisasi baik profit maupun non profit mengalami krisis dalam kinerja, krisis regenerasi dan krisis kepemimpinan. Bagaimana seorang pemimpin bisa bersikap acuh tak acuh dalam kondisi seperti ini?
Sebagian besar krisis yang dialami oleh organisasi berkisar pada masalah rendahnya kepercayaan. Baik kepercayaan publik terhadap organisasi maupun kepercayaan anggota organisasi terhadap organisasi itu sendiri. Dan faktanya semua krisis kepercayaan tersebut berawal dari krisis kepemimpinan.
Saat ini adalah sebuah era dimana seorang pemimpin bukan terpilih oleh karena gelar kebangsawanannya, bukan hanya kesempatan bagi elit tertentu melainkan kesempatan bagi setiap orang.
Karena itu jangan pernah seorang pemimpin berpersepsi bahwa posisi kepemimpinan yang diraihnya adalah puncak dari usaha dan perjuangannya. Sebaliknya seorang pemimpin harus melihat bahwa manakala dia menduduki posisi kepemimpinan, itulah titik awal untuk ‘memulai dan melakukan sesuatu’.
Pada masa ini dibutuhkan pemimpin yang memilki visi jauh ke depan, peka terhadap tantangan bagi organisasi, brilian dalam melahirkan ide-ide, memiliki kepekaan sosial, berani membuat keputusan, serta mampu memberi inspirasi bagi setiap anggota dalam organisasi yang dipimpinnya.
Kepemimpinan tak semestinya dipandang sebagai jabatan atau posisi meski secara struktural demikian adanya. Namun pada pelaksanaannya, kepemimpinan harus dipandang sebagai tindakan-tindakan terencana yang dilakukan secara terstruktur hari demi hari dalam rangka mewujudkan visi yang telah ditetapkan.
Untuk itu maka seorang pemimpin tidak bisa hanya sekedar menunjukkan kehadirannya dalam rapat atau kegiatan namun turut berpartisipasi, berkreasi, memutuskan dan menginspirasi. Itulah yang disebut MEMIMPIN! (Satrio)
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A
Comments are closed.