etika pemasaranTempo hari, ibukota dihebohkan dengan beberapa perusahaan yang dikirimi peti mati beserta kembang tujuh rupa di dalamnya. Tentu sudah bukan informasi baru bahwa paket tersebut dikirim oleh Buzz & Co sebagai bagian dari kampanye pemasaran.

Pimpinan Buzz & Co kemudian diperiksa aparat Kepolisian, meski sampai hari ini saya belum mengikuti kabar terbaru namun rasanya tidak akan ada konsekuensi hukum yang perlu diterima oleh perusahaan maupun pimpinan sebagai representasi dari perusahaan. Kalaupun ada pastilah ringan.

Dalam beberapa hal aktivitas pemasaran apapun bentuknya memang biasa menuai kontroversi. Harus diakui bahwa kontroversi memang salah satu metode yang dipilih dalam aktivitas pemasaran dengan tujuan memperoleh perhatian dari khalayak, tentu hal ini bisa dilakukan hanya jika kontoversi itu sifatnya terukur dan bisa dikendalikan.

Jauh sebelum Buzz & Co, di Indonesia TDW juga pernah melakukan aktivitas pemasaran yang menuai kontroversi dalam rangka launching bukunya. Pertama adalah menunggangi kuda di tengah keramaian dan terakhir adalah dengan membagi-bagikan uang. Pujian dan kritikan diberikan terhadap dua kegiatan tersebut. Namun secara umum keduanya terbilang sukses, sebab kondisinya terukur dan terkendali. Di luar negeri, Richard Branson bos Virgin Group adalah ahlinya dalam melakukan aktivitas pemasaran yang mengundang kontroversi.

Bagaimana dengan paket peti mati ala Buzz & Co? Tentu terlalu dini untuk menilai tingkat efektivitas dan keberhasilannya saat ini.
Bagaimanapun perlu diakui bahwa pilihan mereka melakukan kampanye pemasaran dengan cara demikian terbilang menarik, jenius dan tentu mengundang kontroversi. Hanya saja apabila dikaitkan dengan etika rasanya pilihan tersebut kurang pantas.

Kondisi Indonesia terutama menyangkut isu keamanan terbilang sensitif belakangan ini. Mulai dari gerakan separatisme dengan berbagai modelnya, penembakan terhadap aparat keamanan dan tentu saja yang paling menyerupai dan relevan dengan model kampanye pemasaran oleh Buzz & Co adalah paket bom buku.

Isu-isu di atas utamanya bom buku rasanya sudah cukup menjadi pertimbangan bagi Buzz & Co sebelum melakukan aktivitas pemasaran dengan mengirimkan peti mati. Pertama, sebagai perusahaan berlatar belakang pemasaran tentulah mereka mengerti peran penting persepsi. Maka tentu mereka juga tahu apa persepsi umum masyarakat terhadap peti mati. Kedua, efek kekhawatiran masyarakat terhadap teror bom buku belumlah reda hingga saat ini; peti mati bisa dicurigai sebagai media baru pengganti buku.

Dua hal tersebut rasanya cukup untuk dijadikan pertimbangan layak tidaknya aktivitas pemasaran ini dieksekusi ketika masih dalam level perencanaan. Pertanyaannya apakah mereka memang tidak menyadari? Atau sebaliknya justru memanfaatkan situasi tersebut sebagai daya ungkit bagi aktivitas pemasaran yang dilakukan?

Pada berbagai kegiatan pemasaran sering saya berdiskusi dengan istri saya yang berlatar belakang hukum. Ketika dia mencoba menemukan aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan aktivitas pemasaran saya berpendapat bahwa kegiatan pemasaran dalam banyak hal (bukan seluruhnya) terkait dengan etika pemasaran, bukan hukum.

Kasus peti mati misalnya, meski mungkin bisa diketemukan aspek pelanggaran hukum namun titik berat semestinya adalah pada etika pemasaran. Dunia pemasaran mengenal etika, yang sayangnya sering diterobos oleh para pelakunya.

Perang iklan, black campaign (dalam level tertentu) dan bagaimana seorang pemasar menggunakan trend dan situasi yang sedang berkembang sebagai leverage bagi aktivitas pemasaran yang hendak dieksekusi sah-sah saja dilakukan selama memperhatikan etika dan bukan sekedar mencari sensasi.

Karenanya etika juga perlu dimasukkan sebagai tolok ukur dalam menilai berhasil atau tidaknya suatu aktivitas pemasaran. (Satrio)