Suasana mudik dan berkumpul bersama keluarga mungkin bahkan nostalgia bersama rekan semasa kecil tentu masih berasa bagi kita, baru beberapa hari kembali pada aktivitas rutin yang mungkin juga belum seproduktif biasanya.

Fenomena mudik memang sangatlah menarik dan telah membudaya dalam diri masyarakat kita. Mungkin bila tak berlebihan boleh dikatakan sebagai budaya nasional sebab sekalipun berasal dari berbagai latar belakang suku maupun keyakinan namun untuk yang satu ini menjadi kebiasaan yang sama-sama dijalani setiap tahunnya.

Saya sendiri sudah bertahun-tahun merasakan suasana musim mudik tentu dengan berbagai ragam pengalaman dari tahun ke tahun. Untuk tahun ini ada pelajaran penting yang ingin rasanya dibagikan melalui tulisan ini.

Tak dipungkiri bahwa selain kerinduan berkumpul bersama saudara dan teman-teman ada pula sisi-sisi lain yang muncul bersamaan dengan moment ini. Mungkin kita menjadi bagiannya namun mungkin tak semua menyadari atau menyadari namun menganggapnya wajar.

Dalam suasana nostalgia muncul sisi-sisi manusia yang berkeinginan untuk ‘show off’ baik keluarga, usaha, karir dan sebagainya. Bahkan tak jarang anak pun yang sesungguhnya adalah ‘subjek’ berubah menjadi ‘objek’ pameran orang tuanya. Memang bukan hanya pada suasana ini saja orang memiliki keinginan untuk ‘memamerkan’ HASIL. Tapi berhubung moment ini yang menyadarkan saya maka berawal dari sanalah tulisan ini.

Kompetisi terhadap hasil yang diraih seseorang menjadikan sebuah kebiasaan pula bahwa kita lebih sering menilai dan melihat pada hasil yang telah diraih. Karenanya oleh alasan yang sama orang kemudian mensakralkan hasil.

Perilaku mensakralkan hasil dalam artian menilai hasil adalah segalanya dan hanya itulah yang seolah penting menjadikan munculnya perilaku-perilaku menyimpang untuk mencapai hasil.

Anak sekolah karena entah guru, orang tua maupun teman mementingkan pada nilai yang dicapainya maka tak segan-segan mencontek, semata-mata adalah demi hasil. Toh usaha tidak dinilai.

Seorang karyawan melakukan kecurangan entah berupa korupsi dan sebagainya juga karena hasil-lah yang dinilai.

Saya ingat ketika duduk di bangku SMP untuk mata pelajaran matematika dimana memang saya lemah pada bidang tersebut seorang guru killer sering menyebut  ‘bedhes’ dan lain sebagainya karena jawaban dari PR hampir tidak ada yang benar. Padahal saya merasa sudah mengusahakan sendiri dan maksimal. Akhirnya karena terus berulang saya pilih meminjam hasil pekerjaan teman untuk ‘ditulis ulang’

Saya bersalah, tidak benar, curang dan no excuse atas pilihan yang saya ambil apapun alasannya, namun sekedar saya jadikan contoh bahwa guru tersebut tidak mau tahu bagaimana saya mengerjakannya yang beliau lihat adalah fakta bahwa jawaban tersebut tidak benar.

Andaikata seseorang dihargai dan menghargai bukan semata-mata dari hasil yang diperoleh maka tentu akan lain. Jika budaya yang diciptakan adalah berkompetisi dalam niat dan usaha maka tentu akan berbeda.

Niat dan usaha tak dapat dipisahkan satu sama lain. Seorang suami atau ayah katakanlah ketika ia melakukan pekerjaannya. Bagaimana kesungguhannya dalam melakukan pekerjaan? Apakah ia sungguh-sungguh memberikan yang terbaik pada bidang dimana ia menekunkan diri? Apakah ia melakukan pekerjaan dengan tulus/

Jika ya maka dari segi usaha bisa dikatakan baik, tapi belum cukup! Bagaimana niatnya? Apakah niatnya untuk menjadi sarana penyaluran berkat bagi sesama? Apakah niatnya agar istrinya tak lagi susah mengatur ekonomi rumah tangga karena pendapatan yang lebih kecil ketimbang kebutuhan? Apakah niatnya agar anak-anak memperoleh pendidikan terbaik sesuai minat masing-masing? Atau jangan-jangan niatnya untuk sekedar balas dendam pada orang lain? Atau malahan mencari istri baru dan selingkuhan? Atau malahan usahanya setengah hati, hasilnya bangkrut namun selingkuhnya sudah terjadi.

Penilaian dengan demikian rasanya bukan sekedar pada cara melakukan usaha namun juga pada niat ketika melakukan usaha.

Pada refleksi yang saya tuliskan sebelumnya mengenai “Percaya dan Mengutamakan Tuhan” erat kaitannya dengan refleksi kali ini. Sebab jika kita percaya dan yakin bahwa apapun yang kita terima dan miliki adalah semata-mata kemurahan-Nya maka rasanya tak layak bukan jika kita memperbandingkan dan berkompetisi mengenai hasil?

Apakah kita hendak dan pantas membandingkan pemberian-Nya kepada yang satu dengan yang lain? Bukankah Ia jauh lebih bijaksana dalam menilai dan memberi kepercayaan yang berbeda-beda kepada setiap orang? Dan bukankah pertimbangan-Nya jauh lebih luas dan lebih dalam ketimbang pertimbangan dan pemikiran kita?

Jadi jika memang kita percaya demikian kenapa kita tak menerima saja apapun yang diberikan-Nya dengan penuh syukur dan tanpa mengeluh?

Dengan pemahaman demikian karenanya pasrah tak sama dengan diam saja. Diam itu tak melakukan apa-apa.

Bukan juga berusaha maksimal kemudian dalam batas tertentu menyerahkan kepada Nya karena sudah merasa maksimal karena jika demikian sama halnya mengakui bahwa pada batas tertentu adalah murni jerih payah kita sementara pada batas selebihnya baru bergantung pada-Nya..

Pasrah adalah percaya bahwa pekerjaan dan usaha kita adalah kepercayaan yang diberikan Tuhan kepada kita, kemudian bersama-sama dengan Dia kita bekerja dan berusaha. Oleh karena pekerjaan dan usaha kita adalah hal yang dipercayakan-Nya kepada kita maka Dia pulalah yang kemudian berhak menilai hasilnya serta memberikan apa yang menurut-Nya layak untuk kita terima.

Saya teringat ketika Pak Mario Teguh menyebut bahwa bagian dan tanggung jawab kita adalah untuk berusaha bukan untuk berhasil.

Indeed, saya rasa demikian sebab niat dan usaha adalah dalam kendali kita namun untuk menentukan bahwa apakah niat dan usaha tersebut kemudian akan berdampak pada hasil utamanya materi tentulah adalah keputusan Tuhan.

Oleh karena tanggung jawab kita adalah pada niat maka sudah selayaknya bagi kita untuk menentukan niat baik dan usaha-usaha yang maksimal serta ikhlas untuk kemudian mempercayakan hasil pada Dia sebagai satu-satunya pihak yang berhak untuk menilai hasilnya.