Contents
Healthy pregnant women
Pertama kali datang ke Melbourne usia kehamilanku 26 minggu, beberapa hari sebelum berangkat aku dan suami menyempatkan periksa kehamilan dulu di dokter kandungan. Dokter mengatakan semua baik, aku sehat untuk melakukan perjalanan dan tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan dengan bayi kami. Masa-masa kehamilan selanjutnya juga tidak ada masalah sama sekali, aku tidak pernah mengalami flek, sakit, bahkan tidak pernah flu atau masuk angin. Bahkan aku dan suami sempat berjalan-jalan di sekitar kota Melbourne di sela-sela jadwal kuliahku.
Aku memeriksakan kandungan ke GP (General Practitioner) setiap dua minggu sekali, sambil menunggu mendapatkan janji untuk periksa di The Women’s Hospital, rumah sakit tempat aku akan melahirkan. Akhirnya saat kandunganku 37 minggu 1 hari, aku mendapat kesempatan periksa kandungan di RS tersebut. Kemudian keesokan harinya aku dijadwal untuk USG, memastikan perkembangan bayi dan tidak ada placenta previa sehingga keinginanku untuk melahirkan tanpa operasi bisa terlaksana. Dari pemeriksaan itu kondisi kehamilanku seluruhnya baik. Dokter Obstritician yang memeriksa juga memberitahu bahwa biasanya anak pertama akan lahir melewati tanggal perkiraan kelahiran. Aku diminta untuk datang periksa lagi pada minggu selanjunya.
Hari Sabtu pagi aku merasakan kontraksi di perutku, akhir-akhir ini aku memang kadang merasakan kontraksi seperti ini (Braxton hicks). Awalnya aku tidak terlalu menghiraukan karena usia kehamilanku belum juga 38 minggu, tapi karena kontraksi terus berulang dalam jarak yang lumayan dekat akhirnya aku mengambil kertas untuk mencatat. Jarak kontraksi masih terlalu jauh dan kontraksinya masih terlalu singkat, jadi ini pasti Braxton Hicks. Sore harinya aku mengajak suami ke supermarket tidak jauh dari tempat tinggal kami untuk sekalian jalan-jalan sore. Malam hari sudah tidak ada kontraksi lagi.
My water broke
Minggu pagi aku terbangun karena merasa air ketubanku pecah, tidak banyak tapi cukup basah. Seketika aku duduk dan langsung berdoa mohon disertai dan dikuatkan dalam proses selanjutnya. Setelah itu aku langsung ke kamar mandi dan ternyata benar, awal dari proses melahirkan sudah terjadi. Aku merasa antusias dan segera membangunkan suami, dengan tersenyum aku berkata “kalau ini beneran, Jethro sudah mau lahir…” :gembira:
Setelah membersihkan diri, aku menelepon rumah sakit dan mereka berkata belum perlu ke RS, tapi kapanpun aku dipersilakan menelepon jika ada yang ingin ditanyakan atau ada sesuatu yang tidak terduga terjadi. Aktivitas selanjutnya berjalan seperti biasa, yang beda hanyalah kertas dan timer yang siap sedia mencatat kontraksi yang terjadi. Bahkan hari itu aku dan suami masih sempat nonton Friends.
Baru pada minggu malam kami ke Rumah Sakit. Saat itu setiap kontraksi sudah terasa sakit dan susah untuk berjalan. Aku ingat, saat menunggu taksi di loby apartemen kami, dari jendela aku melihat suamiku yang sedang menunggu taksi berulang kali menoleh kearahku untuk melihat keadaanku, aku selalu tersenyum karena aku tahu dia khawatir meninggalkan aku sendirian di loby.
Very long Labour
Di RS aku diantar ke ruang melahirkan, saat masuk aku langsung tersenyum dan berkata ke suamiku “wah tempatnya bagus juga ya…” karena ruangannya cukup luas, nyaman, bersih, dan dengan peralatan lengkap. Di The Women’s Hospital, ruang labour dan birth ada pada satu ruang, jadi Ibu melahirkan dalam seluruh prosesnya ada dalam satu ruangan.

Tidak berapa lama aku diperiksa, kemudian karena air ketuban sudah pecah sejak pagi dan perkembangan proses melahirkan tergolong lambat, aku disarankan untuk diinduksi dengan hormon oksitosin supaya proses melahirkan bisa berlansung lebih cepat. Aku sebenarnya tidak ingin diinduksi, tapi karena dokter kandungan yang bertugas malam itu menyarankan demikian ya akhirnya aku dan suami setuju. Tidak berapa lama infus berisi hormon dipasang di tangan kananku kemudian menyusul dipasang pula monitor perekam detak jantung bayi (Sepanjang proses melahirkan, detak jantung bayiku selalu normal, tidak ada tanda-tanda stress sama sekali, midwives menyebutnya happy baby).
Kontraksi datang lebih sering dan lebih menyakitkan, namun aku masih tahan. Bahkan aku masih sempat makan bisckit yang kami bawa. Saat itu aku juga tidak berteriak atau mengerang saat kontraksi terjadi. Malam berlalu dan pagi datang, kontraksi demi kontraksi datang dan pergi.
Entah jam berapa, kupikir pagi, dokter kandungan memeriksa bukaan cerviks, dan ternyata baru 1 cm. Aku sangat terkejut karena kontraksi sudah berlangsung lama sekali. Hari berlanjut dan yang kurasakan hanya kontraksi yang datang silih berganti, semakin lama semakin kencang dan sakit. Siang menjelang sore dokter kembali memeriksa bukaan cerviks, dan ternyata baru 2 cm. Aku sangat terkejut, karena sudah sekian lama dan hampir tidak ada kemajuan. Aku ingat ketika itu midwife yang bertugas memberi semangat dengan mengatakan kalau bagaimanapun itu adalah kemajuan. Sudah sulit sekali bagiku untuk berpikir secara normal dan mengendalikan diri sehingga ketika dokter memeriksa ulang aku sempat membentaknya “Can you just stop it!!” :malu: Pada saat itu jika dihitung sejak air ketuban pecah pada minggu pagi dan kontraksi di rumah, berarti sudah sekitar 36 jam aku dalam proses labour dan 12 jam dalam sakit yang luar biasa.
Kontraksi yang terus menerus membuatku sangat lelah secara fisik dan mental. Bahkan beberapa kali aku berkata kepada suamiku kalau aku sudah tidak kuat lagi dan ingin menangis rasanya. Suamiku mengingatkan aku untuk berdoa dan menghibur dengan kata-kata yang menguatkan. Dengan lembut dia berkata supaya aku jangan menangis karena itu akan mengganggu nafasku. Aku pun sadar menangis hanya akan menghabiskan energi, belum lagi kalau nafasku terganggu. Setiap kali kontraksi datang aku memejamkan mata dan kubayangkan Yesus tersenyum dan berkata “Iya..kamu kuat…, Aku tidak akan membiarkan kamu mengalami ini kalau kamu tidak kuat” dan aku menjawab “iya..aku percaya Tuhanku…”. Demikian berulang-ulang dan itu lah yang membuatku bertahan.
I’m so blessed to have you as my husband
Kehadiran-Nya juga kurasakan dalam diri suamiku. Aku sangat mensyukuri hal itu. Suamiku selalu ada disampingku menggenggam tanganku, mengelus rambutku, memijat punggungku yang sakit, menyediakan lengannya untuk kuremas sekuat tenaga tanpa kusadari saat kontraksi datang, menguatkan dan menghibur dengan kata-kata yang lembut, mempersilakan aku bersandar di dadanya, memberikan pelukan hangat yang menenangkan, bahkan melayaniku dari memberi minum, menemani ke toilet sampai berurusan dengan darah dan cairan yang keluar pada kontraksi yang hebat.
Aku tahu suamiku juga pasti lelah fisik dan mentalnya, di sela-sela kontraksi aku beberapa kali mengingatkan dia untuk makan dulu atau beristirahat. Suamiku hanya tersenyum dan berkata dia baik-baik saja dan memintaku tidak usah memikirkan dirinya (suamiku). Ketika itu aku dalam kondisi yang amat rapuh dan aku tahu suamiku menyadari itu sehingga dia memilih untuk selalu ada di dekatku, mengabaikan kebutuhannya sendiri dan memberikan dirinya untuk memenuhi kebutuhanku.
Aku menjadi sangat bergantung pada suamiku, aku selalu menggenggam tangannya, bahkan ketika dokter atau midwives memeriksa. Suamiku selalu mengingatku untuk berdoa dan mengingatkanku kalau setiap kontraksi berarti Jethro (anak kami) dalam perjalanan untuk lahir. Aku belum pernah merasa sedemikian bergantung, ketika itu aku merasa harus suamiku harus selalu ada untuk membuatku tetap utuh.
Bahkan midwife yang bertugas juga melihat perhatian dan cinta suamiku. Semuanya mengatakan kalau aku punya “very supportive partner”. Aku pun menjawab kalau aku sangat beruntung. Salah seorang midwife berkata “you have to keep him” dan sambil tersenyum aku berkata tentu saja aku akan menjaganya. Percakapan yang menyenangkan disela-sela kontraksi.
Ada kejadian yang kalau diingat terasa lucu, waktu itu aku sedang di toilet untuk buang air kecil, tentu saja suamiku mengantar dan ada dua orang midwives lagi (seingatku sejak kontraksiku bertambah parah tanpa ada kemajuan berarti ada dua orang midwives yang selalu menemani di ruangan). Ikat rambutku sudah terlepas sejak kapan aku tidak begitu sadar dan salah seorang midwife bertanya pada suamiku apa aku membawa ikat rambut, suamiku menjawab kalau ada di salah satu tas tapi dia tidak begitu ingat tas yang mana. Lalu dia meminta suamiku mengambilkannya, dia berkata padaku “may I borrow your husband just for a second” aku menjawab “no!!” dia mengulangnya dua kali lagi dan akhirnya aku menjawab “ok” tapi kemudian aku merasa suamiku pergi begitu lama dan aku mulai berkata atau berteriak ya… :megaphone: “I want my husband…i want my husband” :nangis2:
Waktu itu buang air kecil saja terasa tidak nyaman karena selalu diawali dan diakhiri dengan kontraksi yang sakit luar biasa.
Setelah bertahun-tahun mengenal suamiku, hari itu aku melihat suamiku dalam sosoknya yang luarbiasa. Betapa kuat, sabar, tenang dan mampu menghadapi situasi yang sangat menekan tanpa dia tahu sebelumnya apa yang sebenarnya dihadapi. Aku tahu hal ini bukan hal yang mudah untuk suamiku. Saat itu aku merasakan cintanya amat besar untukku dan pemenuhan janjinya untuk selalu ada saat senang dan sedih saat sehat dan sakit ketika kami menikah. Aku merasa sangat diberkati memiliki seorang suami seperti suamiku.
My lovely baby born
Setelah sekian lama, aku merasakan keinginan untuk mendorong, ketika aku mengatakannya ke midwives, mereka kelihatan begitu gembira karena berarti ada perkembangan bukaan yang luar biasa. Aku diminta untuk tidak mendorong dulu sampai bukaannya lengkap dan sebentar lagi dokter akan memeriksa. Sangat sulit untuk menahan diri dari mendorong, tapi aku berusaha karena aku membaca kalau dipaksakan akan timbul kerusakan yang besar karena tubuh belum siap. Dokter memeriksa dan dia menyatakan aku dilated 8 cm, mendengar itu aku menyemangati diriku, tinggal 2cm lagi dan bayiku lahir.
Akhirnya tahap melahirkan tiba, aku diminta mendorong bersamaan dengan kontraksi, mendorong selama mungkin. Midwives yang membantu saat itu memberi arahan dengan jelas sehingga meski aku sudah lelah sehingga susah nyambung aku bisa mengerti. Aku melihat raut wajah suamiku kelihatan lebih cerah dan bersemangat, aku tahu sebentar lagi kami akan melihat bayi kami yang sudah kami sayangi sejak pertama kali kami tahu aku hamil.
Midwives di sekelilingku memberi semangat setiap kali aku mendorong dengan mengatakan “you did a great job” . Saat aku merasa sudah akan kehabisan nafas, Suamiku menggenggam tanganku dan mengelus dahiku berkata sebentar lagi Jethro lahir. Aku seperti mendapat kekuatan baru dan mendorong sekuat tenaga, sepanjang nafas. Tidak lama suamiku mengatakan “kepala Jethro udah kelihatan”, aku tahu aku harus menahan sebentar supaya tubuhku siap karena aku tidak mau episiotomy. Kemudian aku mendorong sekali lagi dan kudengar tangisan yang kuat dari bayi kami. Midwife memberi tahu untuk mendorong dengan lembut dua kali (kata suamiku itu saat bahunya keluar satu persatu dan kemudian badannya meluncur). Setelah itu kejadiannya terasa begitu cepat dan bayiku sudah dibaringkan diatas tubuhku, masih basah dan begitu kecil dengan suara tangisnya yang keras. Aku berdoa berterimakasih atas kekuatan dan penyertaan-Nya.
Aku langsung memeluk Jethro dan membelai tubuhnya untuk menenangkannya, sebentar kemudian tangisnya berhenti Jethro pun tenang berbaring di dadaku. Aku merasa sangat bersyukur, lega dan bahagia. Aku dan suami saling berpandangan dan tersenyum. Aku melihat mata suamiku berbinar-binar kagum dan sayang, kupikir itu yang disebut di salah satu buku yang kubaca kalau ayah bisa jatuh cinta pada pandangan pertama pada bayinya. Aku mengajaknya ikut membelai anak kami, nampaknya suamiku ragu karena Jethro kelihatan begitu kecil kala meringkuk di dadaku.
Aku mendapat ucapan selamat dari para midwives dan dokter. Mereka mengatakan kalau aku begitu kuat dan bayiku sangat menawan. (Saat itu aku baru sadar kalau ternyata ada banyak orang di ruangan itu :malu: )
Cukup lama waktu yang diberikan untuk bonding time mungkin sekitar dua jam, walaupun tidak terasa lama. Kemudian aku dipersilakan mandi sementara Jethro digendong suamiku sebelum kemudian ditimbang dan lain-lain. Setelah aku mandi, sudah tersedia makanan dikamar untukku dan suami. Jethro langsung mendapat suntikan vitamin K dan imunisasi Hepatisis B pertamanya.
Dalam perjalanan ke ruang perawatan, nurse yang mengantar mengatakan kalau aku mendapat ruangan untuk satu orang. Aku berkata kalau asuransi kami hanya mengcover ruangan untuk dua orang (shared room). Dia menjawab kalau aku sudah begitu kuat dalam proses melahirkan yang panjang jadi dia meminta kamar untuk satu orang, karena ada kamar tersedia ya kenapa tidak begitu katanya. Aku berterimakasih karena dia begitu baik. Dalam hati aku tersenyum dan melihat wajah Yesus tersenyum padaku.
At the ward
Sayang sekali suami tidak diijinkan untuk menginap, jadi suamiku harus pulang. Aku memintanya untuk tidur yang lama dan tidak perlu pagi-pagi datang. Malam itu (sebenarnya sudah pkl 3 pagi) adalah malam pertamaku dengan Jethro. Aku sangat lelah, tapi tidak bisa langsung tertidur karena menikmati wajah kecil Jethro yang tertidur dengan nyenyak. Wajahnya begitu tenang, bagiku dia sangat menawan. Aku memandanginya dan mengingat perjalanan panjang yang dia alami. Detak jantungnya yang selalu kuat dan stabil dan tidak ada tanda stress sama sekali (biasanya bayi kalau proses melahirkan lebih dari 12 jam akan stress sehingga harus operasi caesar). Sekali lagi aku bersyukur dan berdoa agar Tuhan senantiasa menyertai dan memberkatinya seperti disaat kelahirannya. Aku dan suami telah sepakat untuk tidak mengharuskan anak kami menjadi A atau B akan tetapi membiarkan dia memilih yang sesuai untuknya. Bagiku cukup jika ia selalu menjaga jalannya dalam jalan Tuhan, bertanggungjawab dan bahagia atas pilihan yang dibuatnya.
Keesokan harinya ada seorang midwife (namanya Elizabeth yang membantu dalam proses labour namun sudah berganti shift dan dia harus pulang saat tahap melahirkan) datang menengok kami berdua. Aku terkejut atas kedatangannya, dia mengatakan kalau dia ingin mengucapkan selamat karena kemarin dia harus pulang sebelum Jethro lahir. Dia kagum karena aku begitu kuat dan teguh berpegang pada birth plan yang sudah kubuat, dia sudah bertahun-tahun menjadi midwife dan tidak banyak orang seperti aku. Dia juga mengatakan ingin melihat Jethro. Mendengar perkataannya aku tertawa. Sambil masih tersenyum aku menjawab apa iya begitu karena kemarin berteriak-teriak ketika sakit sekali. Dan dia menegaskan kembali perkataannya. Aku senang dia berkunjung, aku bisa mengucapkan terimakasih karena dia begitu sabar, mendukung, dan perhatian. Saat itu bahkan aku tidak ingat siapa namanya. Dia menjawab bahwa dia hanya melakukan pekerjaannya. Bagiku yang dia lakukan lebih dari sekedar itu dan aku akan mengingatnya terus.
Hanya berselang sebentar dari kunjungan Elizabeth, suamiku datang dengan seikat bunga mawar ditangannya dan bukan itu saja ternyata dia menyimpan ice cream di saku jaketnya. Aku tidak begitu ingat, tapi suamiku ingat kalau di sela-sela kontraksi aku sempat bilang mau makan ice cream kalau proses melahirkan sudah selesai. Sekali lagi aku merasa sangat beruntung memiliki suami yang memberikan cinta dan perhatian yang luar biasa.
Hari ini, kalau aku mengingat kembali peristiwa melahirkan, aku tidak lagi dapat membayangkan sakitnya kontraksi. Aku hanya ingat sakit luar biasa, tapi aku sudah tidak bisa membayangkan rasanya. Sepertinya itu tersapu bersih ketika aku melihat Jethro. Namun aku akan selalu ingat penyertaan Tuhan disaat-saat itu dan Yesus yang mengingatkan bahwa Dia tidak akan membiarkan aku jika aku tidak kuat. Dan aku akan selalu ingat cinta dan perhatian yang luar biasa yang dimiliki suamiku untukku. Hari lahir Jethro dengan semua prosesnya sesungguhnya telah memperkaya diriku. :senyum:
Proud wife and mom. Academic Staff at Fakultas Hukum UKSW, a current Melbourne Law Masters Student.
I’m actively search for the positive side of everything ~ Indirani Wicaksono ~
Read more posts by this author here||