Smartfren pada tanggal 17 September lalu bersamaan dengan peluncuran produk terbarunya yang diklaim mampu menghadirkan kecepatan akses internet hingga 14, 7 Mbps mengkampanyekan juga slogan “I Hate Slow”.

Slogan tersebut dikaitkan dengan tayangan komersial perusahaan yang bersangkutan di media cetak maupun media elektronik memang tampak saling terkait dan mendukung satu sama lain.

Jelas bahwa Smartfren hendak memosisikan dan mempersepsikan diri sebagai penyedia layanan tercepat di Indonesia.

Sayang bahwa pada kenyataannya kampanye above the line dan below the line yang tampak saling mendukung dan berpotensi kuat membentuk persepsi konsumen sebagaimana yang diharapkan sering dinodai oleh kegagalan pihak perusahaan dalam memenuhi “janjinya”.

“Janji” pihak Smartfren jelas ada dalam berbagai program kampanye pemasaran yang dilakukan, baik tercetak maupun tidak. Tagline, promosi, klaim dan sebagainya harus dipandang oleh perusahaan sebagai sebuah “janji” yang harus dipenuhi.

Janji sebuah perusahaan atau produk adalah harapan pelanggannya. Manakala harapan tersebut lebih tinggi daripada kenyataan yang diterima maka hasil akhirnya adalah ketidakpuasan pelanggan. Sebaliknya manakala hasil yang diterima adalah sama atau bahkan melebihi ekspektasi maka timbullah kepuasan.

Kepuasan erat kaitannya dengan loyalitas dan preferensi rekomendasi. Keduanya adalah vital bagi sebuah produk/perusahaan. Karenanya pemenuhan ekspektasi adalah penting.

Smartfren I Hate Slow: Over Promise and Under Deliver
Smartfren: Over Promise and Under Deliver?

Contents

Smartfren: Mau Cepat? Wani Piro?

Thomas Leonard, dalam sebuah bukunya menyebut; “Promise Little, Deliver Everything”. Tujuannya jelas untuk menghindari ketidakpuasan pelanggan.

Disamping menghindari ketidakpuasan, Leonard berpendapat bahwa janji yang tidak terlalu muluk-muluk menghindarkan perusahaan dari tekanan.

Ketika sebuah perusahaan menjanjikan sesuatu kepada pelanggan yang selanjutnya memengaruhi keputusan beli pelanggan maka hanya ada dua pilihan bagi pihak perusahaan: memenuhi janjinya atau bersiap menerima komplain.

Dalam kasus Smartfren, memang harus diakui bahwa harga yang ditawarkan untuk setiap paket relatif murah dibandingkan para kompetitor.

Tapi bukan itu persoalannya, yang menjadi penekanan adalah bahwa pihak Smartfren sudah memberikan janji. Janji tersebut sudah semestinya dipenuhi apapun alasannya.

Bahwa pelanggan membayar harga relatif murah dibanding kompetitor adalah urusan manajemen Smartfren. Kegagalan pihak perusahaan dalam memenuhi janjinya tak lantas bisa sedemikian saja dibalikkan kepada nilai yang dibayar oleh pelanggan. Kecuali jika sejak awal pihak Smartfren menjanjikan lain.

Ketika seorang pelanggan melakukan keputusan beli, sebelumnya sudah terjadi proses yang panjang dalam benaknya. Berbagai pertimbangan digunakan secara berbeda-beda sesuai perilaku masing-masing sebelum pada akhirnya membuat sebuah keputusan beli.

Janji perusahaaan berupa promosi, iklan, klaim dan bahkan pembentukan persepsi adalah bagian penting dari proses tersebut. Apabila janji yang diberikan perusahaan berbeda, maka bisa jadi keputusannya pun berbeda.

Harus dipahami oleh Smartfren bahwa janji dan harga merupakan dua di antara beberapa faktor utama yang menentukan keputusan beli seorang calon pelanggan.

Bahwa nilai uang yang dikeluarkan oleh seorang pelanggan ternyata tidak cukup sebagai biaya operasional perusahaan untuk memenuhi janji, adalah mismanagement perusahaan yang tidak sepatutnya dijadikan alasan.

Brand Ambassador Smartfren

Boleh dikatakan bahwa sejauh ini pihak Smartfren gagal dalam memenuhi janjinya. Salah satu indikator adalah tingginya tingkat komplain pada halaman resmi Facebook mereka. Belum termasuk akun di Twitter, berbagai Forum maupun langsung ke CS.

Mulai dari hilangnya sinyal EVDO secara tiba-tiba, perbaikan atau perawatan yang berlangsung beberapa hari dan memengaruhi kecepatan koneksi secara signifikan tanpa pemberitahuan.

Perawatan dan perbaikan tentu adalah hal wajar, tapi tanpa adanya pemberitahuan maka hasilnya adalah ketidakpastian, ketidakpastian menimbulkan respon ketidakpuasan.

Mempertimbangkan bahwa Smartfren memiliki situs web resmi, akun twitter dan halaman FB sungguh tidak wajar manakala sarana-sarana tersebut tak dimanfaatkan untuk memberikan informasi adanya perbaikan. Terlebih bila berlangsung lebih dari sehari.

Kegagalan dalam memenuhi janji bukan satu-satunya persoalan yang harus dibenahi oleh pihak Smartfren. Pada forum diskusi di halaman FB Smartfren menanggapi tingginya komplain pihak pelanggan muncul sebuah jawaban dari akun yang menamakan Smartfren kota tertentu.

Akun tersebut pada intinya menyebut bahwa terserah apapun yang dikatakan oleh pelanggan yang pasti Smartfren sedang membenahi diri untuk menjadi penyedia layanan terbaik, terdepan dan tercepat di kemudian hari.

Tidak jelas dan tidak dapat dipastikan apakah akun tersebut resmi milik Smartfren atau bukan.

Jika memang akun tersebut bukan merupakan akun resmi pihak Smartfren, sudah semestinya pihak perusahaan menegur pemiliknya. Sebab mengatasnamakan pihak Smartfren.

Sebaliknya jika benar akun tersebut adalah resmi mewakili pihak Smartfren maka jelaslah bahwa pihak Smartfren tidak cukup mampu membekali karyawannya dengan etika pelayanan pelanggan dan aktivitas pemasaran.

Jelas bahwa setiap karyawan perusahaan dalam posisi apapun adalah duta merk bagi perusahaan dimana yang bersangkutan bekerja. Etika, sikap dan tindakannya dalam banyak hal dilihat oleh pelanggan sebagai representasi dari perusahaan.

Jadi ketika muncul komplain kemudian ditanggapi seolah tak mau tau apa yang terjadi saat ini karena sedang dilakukan pengembangan kedepan, maka pihak Smartfren sudah menciderai janjinya sendiri.

Kenapa? Sebab apa yang dijanjikan oleh Smarfren bukan untuk besok, lusa atau beberapa bulan ke depan. Jika klausul itu disebutkan dalam kampanye pemasarannya maka bukan tidak mungkin calon pelanggan akan melakukan menunda keputusan beli atau beralih ke kompetitor untuk sementara waktu hingga pihak Smartfren siap memenuhi janjinya.

Sekali lagi jelas bahwa janji perusahaan akan memengaruhi keputusan beli calon pelanggan; beli, tunda atau tidak sama sekali.

Pelanggan vs Konsumen

Sejak beberapa tahun yang lalu komunitas pemasaran mulai bersepakatan untuk mengganti istilah “consumer” dengan dengan “customer”.

Tujuannya tidak lain adalah untuk mengingatkan perusahaan dan segenap karyawan di dalamnya betapa pentingnya arti pelanggan. Istilah pelanggan atau customer digunakan dengan harapan agar perusahaan dan karyawannya lebih berkomitmen membangun hubungan baik jangka panjang dengan pelanggannya dan bukan hanya mengejar penutupan transaksi melalui penjualan.

Smartfren sebagai sebuah perusahaan yang boleh dibilang mapan dan tentunya memiliki SDM berkualitas tampaknya masih perlu mendalami makna tersebut.

Kenapa Perusahaan Gagal Memenuhi Janjinya?

Tentulah ada banyak faktor yang menyebabkan sebuah produk/perusahaan gagal memenuhi janjinya atau “over promise under deliver”.

Umumnya beberapa kemungkinan adalah:

  • Pihak manajemen dan pimpinan kurang menganggap penting adanya upaya-upaya untuk memberikan pengalaman positif kepada pelanggan. Para eksekutif sering berfokus pada pengembangan lni produk dan pembiayaan, namun melupakan pentingnya menciptakan pengalaman positif bagi pelanggan. Jika ini yang dialami maka kecenderungannya adalah semakin bertambah lini produk maka makin buruk pula layanannya.
  • Perusahaan tidak memiliki desain bagaimana produk dan layanannya akan memenuhi ekspektasi pelanggan.
  • Pihak-pihak yang bertanggung jawab tidak cukup kompeten atau tidak mampu menyampaikan visi dan misi perusahaan kepada para bawahannya.
  •  Tidak ada kesinambungan antara pihak yang bertanggung jawab atas aktivitas pemasaran dengan pihak yang bertanggung jawab terhadap teknis produk yang ditawarkan.

Adalah tidak etis bagi perusahaan untuk memberikan janji-janji kepada calon pelanggan dan pelanggan mengenai kinerja produk yang pada akhirnya tak mampu dipenuhi.

Untuk menghindari situasi semacam ini hal yang penting dilakukan;

  • Setiap lini kepemimpinan harus memberi perhatian khusus dan menyeluruh bagaimana departemen dan karyawan yang dipimpinnya memenuhi janji perusahaan yang telah menjadi ekspektasi pelanggan.
  • Lakukan evaluasi apakah janji yang diberikan sungguh-sungguh mampu dipenuhi? Jika memang tidak maka ubahlah janji itu, meski mengecewakan pelanggan namun setidaknya hanya merupakan ketidakpuasan jangka pendek.

Bagaimana dengan Smartfren?