Paus Benediktus XVISebelum ditahbiskan menjadi Paus Benediktus XVI, Kardinal Joseph Ratzinger dikenal sebagai ‘Penjaga Doktrin Gereja” semasa kepemimpinan Paus Yohanes Paulus II. Dalam menjalankan perannya tersebut Kardinal Ratzinger terkenal sebagai seorang pemimpin yang keras dan tak kenal kompromi.

Setelah menggantikan Paus Yohanes Paulus II sebagai pemimpin Gereja Katolik, Paus Benediktus XVI dikenal sebagai pemimpin yang empatik dan welas asih. Sosok keras tanpa kompromi sudah tak lagi melekat pada sosok beliau.

Lalu timbullah pertanyaan apakah Kardinal Ratzinger dan Paus Benediktus XVI adalah dua pribadi yang berbeda? Tentu saja tidak. Inilah yang disebut sebagai transformasi peran.

Transformasi peran sebenarnya bukan hal baru dan bukan hanya terjadi dalam Hirarki Gereja Katolik. Dalam organisasi lain seperti perusahaan dan pemerintahan hal demikian sudah sering terjadi. Hanya saja tidak semua pemimpin memahami arti penting transformasi.

Paus Benediktus XVI menyadari bahwa dalam posisinya sebagai pemimpin tertinggi saat ini, sikap keras tanpa kompromi hanya akan membawa perpecahan. Sikap keras dan tanpa kompromi tepat saat beliau berperan sebagai “Penjaga Doktrin Gereja”. Namun kini sebagai pemimpin adalah lebih baik untuk mempersatukan semua pihak daripada memecah belah.

Kepemimpinan adalah sebuah peran yang mempersatukan dan menjembatani setiap pihak yang ada di dalam organisasinya.

Ada beberapa hal yang dapat dipelajari dari transformasi ala Paus Benediktus XVI dan bisa diterapkan pula dalam organisasi lainnya:

Kami, bukan saya. Dalam tulisan beberapa waktu lalu pernah juga diulas mengenai filosofi ini.

Jika sebelum menjadi pemimpin seseorang bisa menempatkan diri sebagai “orang yang berdiri sendiri” dan tanpa kompromi maka pada saat dirinya menjadi pemimpin sikap ini harus ditinggalkan.

Ingat bahwa pemimpin adalah representasi dari organisasi, pemimpin mewakili organisasi bukan mewakili dirinya sendiri. Apapun bentuk organisasi yang dipimpinnya posisi pemimpin adalah mewakili orang-orang yang ada di dalam organisasi itu.

Membuat keputusan sulit. Berkali-kali dalam artikel di blog ini juga pernah disinggung bahwa tugas pemimpin adalah mengambil keputusan. Dan sekali lagi pemimpin belumlah bekerja sebelum keputusan diambil. Betapapun sulitnya,betapapun kemungkinan pemimpin menjadi tidak populer karena keputusannya: tetap keputusan harus diambil!

Meski bertindak sebagai pengambil keputusan namun pemimpin layaknya seorang pelatih sepak bola: merencanakan dan menyusun strategi, memilih dan mengangkat orang-orang yang tepat untuk tiap posisi, kemudian memastikan orang-orang tersebut untuk melakukan pekerjaannya.

Dalam rangka memimpin dan memastikan orang-orang di dalam organisasi melakukan pekerjaannya, seorang pemimpin harus juga menjadi ‘penjaga’ bagi nilai-nilai dan budaya organisasi. Dalam perannya ini pemimpin harus memastikan bahwa semua pekerjaan tidak melenceng dari prinsip, nilai dan budaya organisasi.

Ketika beberapa Gereja Katolik di China ‘membangkang’ dari tradisi, aturan dan nilai yang sudah berabad-abad dipegang teguh oleh Gereja Katolik, Bapa Paus tidak lantas menjadi lembek dan berani menyatakan bahwa Gereja di China lagi menjadi bagian dari Gereja Katolik. Jika Bapa Paus bersikap lembek tentu kepemimpinannya akan mengingkari sifat Gereja Katolik yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik. Bukan tidak mungkin justru sikap yang tidak tegas dapat menyebabkan perpecahan yang lebih besar.

Meski demikian Bapa Paus tak lantas menutup pintu bagi gereja di China, upaya-upaya rekonsiliasi tetap dilakukan.

Sikap yang tetap membuka diri dan mengupayakan rekonsiliasi membawa kita pada pelajaran ketiga dari transformasi ala Paus Benediktus XVI, yaitu:

Pemaaf. Pemimpin terlebih di awal masa kepemimpinannya seringkali tergoda memanfaatkan perannya untuk mewujudkan ‘apa yang menurutnya baik’. Seringkali wujudnya adalah dengan ‘menyingkirkan’ orang-orang yang selama ini dianggap sebagai ‘penghalang’ dalam mewujudkan ‘apa yang menurutnya baik’

Ingat, bahwa ‘apa yang menurutnya’ baik belum tentu adalah ‘apa yang baik bagi organisasi’. Dan sekali lagi posisi pemimpin adalah mewakili organisasi dan orang-orang yang ada di dalamnya.

Karenanya dalam menjalankan peran sebagai pemimpin adalah penting untuk ‘memaafkan’ mereka-mereka yang selama ini berseberangan pandangan dengan kita. Namun pada saat yang sama juga bersikap tegas dan tanpa ampun bagi mereka yang selama ini menyalahgunakan posisi, jabatan atau organisasi untuk kepentingan yang tidak semestinya.

‘Memaafkan’ yang berseberangan namun bersikap tanpa kompromi terhadap ‘benalu’ adalah penting terutama di awal-awal kepemimpinan untuk memastikan setiap orang tahu prinsip apa yang dipegang oleh sang pemimpin.

Sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik, Paus Benediktus XVI tak lantas kehilangan komitmennya untuk menjaga Doktrin Gereja. Hanya saja Paus Benedictus XVI memainkan peran yang lebih halus dalam menjaga dan mempertahankan doktrin-doktrin tersebut.

Bagi sebagian besar pemimpin lain, posisi yang diperolehnya saat ini dianggap sebuah prestasi dan puncak dari karirnya. Karena itu mereka merasa bahwa ini adalah saatnya mewujudkan dan membawa organisasi pada ‘sesuatu yang dipikirnya baik’. Dan jika yang diperlukan adalah ‘menyingkirkan’ para penghalang tentu tanpa segan hal itu akan mereka lakukan. (Satrio)