Sekolah favorit menjadi tujuan siswa dan orang tua pada setiap kelulusan. Dua hari yang lalu ketika ketika saya dan suami hendak berkunjung ke rumah nenek, kami melewati sebuah sekolah. Saya kemudian teringat tulisan di sebuah blog pribadi yang saya baca sehari sebelumnya.

Pada blog itu seorang Ibu menulis bahwa anaknya baru saja lulus SD dan akan masuk ke SMP. Ia mengemukakan bahwa hasil UAN anaknya tidak sebaik yang ia perkirakan. Biasanya si anak selalu mendapat nilai bagus dalam tes bahkan termasuk siswa yang konsisten menduduki rangking tiga besar di sekolahnya. Namun hasil tes UAN mengejutkan si Ibu dan anaknya, karena tidak memenuhi standard minimal masuk ke sekolah favorit seperti yang diinginkan.

Ibu itu dan anaknya tetap mendaftar di sekolah favorit, mereka berpikir setidaknya tetap mencoba karena bersekolah di SMP itu yang diinginkan anaknya. Akan tetapi mereka juga mencoba mendaftar di SMP lain dimana nilai UAN anaknya memenuhi standard minimal.

Dalam perjalanan waktu, Ibu ini mendengar dari wali murid lain bahwa ada seseorang dari sekolah favorit yang bisa ‘membantu’ anaknya masuk ke SMP favorit itu. Sang Ibu diminta menyediakan dana 12 juta rupiah untuk ucapan terimakasih atas ‘jasa’ orang tersebut. Tentu saja untuk menghindari adanya bukti, uang diserahkan tanpa kuitansi sebagai bukti penerimaan.

Sang Ibu membicarakan tawaran tersebut dengan suaminya. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk tidak menerima tawaran itu. Keputusan itu diambil bukan karena pertimbangan uang yang harus mereka bayarkan, karena jumlah 12 juta masih bisa mereka usahakan. Mereka menolak karena mereka memikirkan dampak dari nilai yang akan mereka wariskan ke anaknya jika mereka menyetujui tawaran itu.

Menurut mereka, jika mereka menuruti tawaran itu, sama saja mereka memberi contoh kepada anaknya yang baru saja lulus SD untuk menghalalkan segala cara demi mencapai apa yang diinginkan. Selama ini mereka mengajarkan nilai-nilai kejujuran, yang akan mereka runtuhkan sendiri ketika mereka setuju membayar 12 juta rupiah demi anaknya dapat masuk ke sekolah favorit.

Mereka sadar, jika anaknya masuk ke sekolah yang diinginkannya pasti anaknya akan senang. Akan tetapi bagi mereka, pendidikan yang mereka berikan harus lebih dari sekedar berusaha menuruti apa yang membuat si anak senang. Pendidikan yang berusaha mereka berikan adalah menanamkan nilai-nilai yang baik dan berusaha memberikan contoh penerapannya dalam kehidupan.Sekolah Favorit

Ibu ini menuliskan bahwa ia menjelaskan kepada anaknya mengenai keputusan yang mereka ambil. Ia dan suaminya menjelaskan bahwa sebenarnya mereka sedang mengajarkan untuk tetap menggunakan cara-cara yang benar atau tidak menghalalkan segala cara, mempertahankan kejujuran, dan lebih besar daripada itu mengajarkan percaya pada penyertaan Tuhan.

Percaya bahwa Tuhan akan senantiasa menyertai dimanapun anaknya bersekolah. Percaya juga, bahwa perbuatan yang dilakukan sesuai dengan ajaran-Nya, pasti mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

Saya tersenyum ketika membaca tulisan Sang Ibu yang ditulis di blog-nya, saya merasa senang orang tua anak itu tetap mempertahankan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. Semoga banyak orang tua yang seperti itu, karena anak-anak pada akhirnya akan menjadi orang dewasa dan beberapa diantara mereka akan duduk sebagai pemimpin bangsa ini. Jika nilai-nilai seperti itu dipertahankan, maka tindakan tidak jujur seperti korupsi pasti akan jauh berkurang.

Sekolah favorit memang memiliki daya tarik tersendiri. Bukan hanya untuk anak, namun seringkali orang tua juga menginginkan anaknya masuk ke sekolah favorit demi kebanggaan mereka sendiri. Namun, sesungguhnya belajar dapat dilakukan dimanapun, melanjutkan sekolah juga tidak harus ke sekolah tertentu apalagi jika sampai mengorbankan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran. (Indirani)

  Copyright protected by Digiprove © 2011