Semenjak resmi menjadi seorang ayah sekitar tiga tahun lalu saya mulai banyak membaca buku, artikel dan sebagainya terkait peran dan fungsi tersebut. Lewat penghayatan peran serta pendalaman melalui studi referensi termasuk pengamatan sehari-hari makin hari makin saya merasa betapa peran dan sosok seorang ayah dalam perkembangan anak serta dinamika keluarga lebih vital dari apa yang semula saya bayangkan.

Sebagai seorang yang tumbuh di dalam masyarakat kolektif dahulu pemahaman terhadap fungsi utama dari seorang ayah yang saya pahami hanya seputar pada peran memberi nafkah. Selama tugas tersebut dijalankan dengan baik maka kewajiban seorang ayah dan suami sudah terpenuhi. Memang bagi sebagian besar masyarakat kita pola pikir tersebut masih dipegang erat sampai-sampai seorang suami/ayah mendapat toleransi demikian tinggi untuk sikap acuh tak acuhnya terhadap urusan lain selama yang bersangkutan mampu mencukupi kebutuhan materi bagi keluarga.

Celakanya pemahaman semacam ini bukan hanya dipegang oleh generasi lampau namun masih bertahan sampai hari ini. Tak cukup dipertahankan dari generasi ke generasi namun juga relatif dipertahankan oleh mereka yang cukup berpendidikan maupun kurang.

Suka atau tidak suka faktanya selama ini masyarakat kita memandang perkembangan seorang anak adalah hasil jerih payah entah berupa kesuksesan maupun kegagalan seorang ibu.
Jika anak dianggap baik maka ibu mendapat kredit, demikian pula sebaliknya. Lantas dimanakah ayah? Sibuk mencari nafkah!

Peran Ayah

Kesadaran akan peran ayah yang lebih besar dalam diri saya muncul beberapa bulan sebelum kelahiran anak pertama kami. Kala itu istri berkesempatan melanjutkan studi di Melbourne dan kami pun tinggal di sana. Sepanjang pengamatan saya, sebagian besar ayah di sana memosisikan diri dengan sama sekali berbeda dibandingkan ayah di Indonesia terhadap anak serta istrinya.

Jika Ayah di Indonesia acapkali memosisikan diri sebagai pemberi perintah dan pengkritik kala berinteraksi dengan anak dan tak jarang pula cenderung sok tahu tidak demikian halnya dengan ayah-ayah di Melbourne sejauh pengamatan saya tentu saja. Mereka bersikap lebih hangat, berinteraksi sebagai mentor bukan pemberi perintah, pada saat-saat tertentu mereka juga mampu memosisikan diri sebagai sahabat.

Sebagai seorang pelindung ayah di sana tidak bersikap sok jagoan atau agresif melainkan memberi pengertian bagi sang anak ketika ada hal di luar yang tampak tidak semestinya. Kalaupun datang ancaman entah sikap agresif dari pihak lain dan sebagainya ayah sedapat mungkin tampak menjaga emosi, mengendalikan diri sehingga meski dalam situasi membela diri namun berusaha tidak bersikap agresif agar tidak tidak menjadi contoh buruk bagi anak-anaknya.

Sebaliknya di Indonesia kebanyakan ayah memosisikan diri secara agresif meski tak ada ancaman nyata, terkadang pula malah justru mendorong anak bersikap agresif dan memberikan reward jika harapan tersebut terpenuhi.

Beberapa tahun lalu pernah saya membaca sebuah artikel dalam surat kabar lokal (Melbourne) mengenai pengaruh ayah terhadap anak laki-laki dan anak perempuan. Ternyata pengaruh ayah kepada jati diri seseorang bisa sedemikian besar. Ada banyak point dikemukakan di sana namun ada dua hal penting yang tercatat dalam benak saya. Pertama-tama bagi anak laki-laki sosok ayah adalah sosok yang mengajarkan kemandirian. Benih kemandirian pada seorang anak ditanamkan oleh ayah, bukan dari pihak ibu. Karenanya jika seorang anak laki-laki tidak mampu bersikap mandiri sebagaimana mestinya sudah sewajarnya jika sang ayah mempertanyakan dirinya sendiri bukan justru ikut mencerca.

Peran Ayah

Poin kedua adalah peran ayah terhadap anak perempuan. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa ayah yang memberi cukup pujian bagi anak perempuannya akan menumbuhkan rasa percaya diri anak di kemudian hari. Jika pada anak laki-laki kepercayaan diri tersebut terkait dengan keyakinan menghadapi tantangan maka bagi anak perempuan lebih ke arah self-esteem. Konon, anak perempuan yang tidak cukup memiliki kedekatan dengan ayah dan tidak cukup mendapat pujian dari ayah di kemudian hari cenderung terobsesi mencari perhatian dari lawan jenis.

Melihat gambaran di atas saja sudah cukup jelas bahwa ayah bukan sekedar pemberi nafkah, namun semestinya memiliki peran aktif dan melibatkan diri dalam kehidupan seorang anak.

Sayangnya hal tersebut masih demikian miskin ditemukan dalam kultur masyarakat kita. Jika diibaratkan sebuah tim sepak bola semestinya peran ayah dalam perkembangan seorang anak adalah sebagai playmaker. Peran seorang playmaker adalah memimpin sebuah permainan lewat visi, kreativitas dan kontrol. Keberadaannya sangat vital dalam sebuah tim karena ia pulalah yang memungkinkan anggota tim lain tahu dimana harus menempatkan diri secara tepat sehingga nantinya tercipta sebuah goal.

Celakanya di Indonesia para ayah bukannya menempatkan diri sebagai playmaker dalam kehidupan anak serta keluarga namun justru mengambil posisi sebagai penonton. Alih-alih memilki visi serta kreativitas justru menyerahkan peran tersebut kepada istri/ibu. Dan apa yang dilakukan oleh penonton dalam pertandingan? Berteriak, mengomel, mengkritik tapi nihil kontribusi nyata.

Dipikirnya tugas mendidik anak adalah tanggung jawab ibu, selama kebutuhan materi sudah terpenuhi
maka tunai sudah tugasnya sebagai ayah. Ketika anak bertumbuh sesuai keinginannya maka ia berbangga hati merasa sukses tersebut berkat kerja kerasnya mencari nafkah. Namun ketika anak bermasalah ia serta merta memberi kritik bahkan caci maki kepada istri yang dianggap tak becus mendidik anak. Padahal ia sendiri yang melepaskan diri dari tanggung jawab.

Melepaskan diri dari tanggung jawab memang merupakan tipikal kebobrokan seorang ayah lainnya disamping memosisikan diri sebagai penonton. Tak cukup memberi kritik kepada istri tak jarang para ayah memberi kritik kepada anak. Katanya terlalu dimanja, katanya kurang dididik dengan sikap keras. Padahal kemana ia selama ini?

Sebelum memberi kritik terhadap anak semestinya seorang ayah mula-mula bertanya pada diri sendiri sudahkah ia memberi cukup bekal selama ini? Sudahkah ia cukup berperan selama ini? Sudahkah ia cukup mengajarkan selama ini? Karena tak sedikit ayah-ayah yang nyaris tak pernah hadir untuk anaknya, tidak pernah mengajarkan bagaimana menghadapi tantangan, enggan meluangkan waktu untuk mendengar namun demikian aktif memberi kritik.

Kehadirannya minim, bahkan mungkin nihil di saat-saat kritisnya kehidupan seorang anak. Namun sekalinya datang hanya memberi berjuta kritik “…harusnya begini”, “…harusnya begitu”, “…begitu saja tidak tahu”, “…biarkan saja toh sudah dewasa” dan sebagainya.

Sikap seperti ini terus terang dalam pandangan saya merupakan sikap seorang pengecut. Pengecut yang alih-alih mau berintrospeksi malahan melepaskan diri dari tanggung jawab. Melarikan dan melepaskan diri dari tanggung jawab konon merupakan salah satu “dosa” terbesar yang banyak dilakukan oleh pria sebagai akibat dari kegagalannya mengatasi rasa takut.

Alih-alih bersikap jantan melibatkan diri, ikut mencari solusi atau setidaknya memberi dukungan moral justru kritik serta caci maki yang muncul dari mulutnya. Kenapa? Karena ia sebenarnya tidak tahu bagaimana menghadapinya.

Marah konon menurut Rm. Deshi Ramadhani dalam bukunya “Adam Harus Bicara” merupakan pelampiasan rasa takut dari seorang pria. Kenapa demikian? Sebab pria memiliki kecenderungan untuk mengendalikan situasi, untuk dapat mengendalikan situasi maka ia harus cukup memiliki pengetahuan. Namun ada momen dimana seorang pria memang tidak mampu mengendalikan situasi karena pengetahuannya terbatas. Dalam kondisi ini, dua pelarian yang umum dilakukan oleh para pria adalah “diam” atau “marah”.

Bagaimana dengan diam? Diam memiliki banyak makna, namun dalam perannya sebagai ayah dan suami diam pun adalah sebuah “dosa”. Bayangkan dalam sebuah pertandingan sepak bola apa yang terjadi jika si playmaker memilih diam? Bukannya irama pengaturan serangan bakal kacau seketika?

Lagi-lagi sayangnya diam ini juga sering menjadi opsi bagi seorang ayah atau suami dalam rangka melindungi dirinya dari ketidakmampuan mencari solusi dan mengendalikan situasi. Ia membiarkan istri memimpin, sekalipun ia tak setuju dengan beberapa hal ia pilih diam dengan berbagai dalih entah sibuk dengan pekerjaan atau istri tidak mau menerima pendapatnya. Ketika dikemudian hari si anak tidak dianggapnya memenuhi harapan ia tinggal melemparkan tanggung jawab kepada istri dan anak itu sendiri. Ia sendiri kemana selama ini?

Menjadi seorang ayah memang tidak mudah, namun juga tidak mustahil. Sampai sekarang saya masih ingat sebuah renungan yang kebetulan saya baca beberapa tahun lalu selepas sarapan sereal ketika baru menjadi ayah beberapa pekan. “Tuhan tidak pernah salah memilih orang tua bagi seorang anak” kurang lebih demikian. Dijabarkan bahwa ketika Tuhan memercayakan seorang anak kepada sepasang suami-istri maka Ia pun memampukan keduanya untuk menjalankan tanggung jawab tersebut. Pertanyaannya tinggal apakah kita mau bersungguh-sungguh mengupayakan diri untuk menjalankan tugas itu?

Diam dan marah tentu bukan bentuk mengupayakan diri yang dimaksud. Sesungguhnya menjadi ayah lebih memerlukan hati ketimbang arogansi, sok tahu, materi dan sebagainya sebagaimana umum diyakini kebanyakan ayah dan suami saat ini.

Sebab hanya dengan hati-lah seorang ayah akan memahami apa yang dirasakan dan dipikirkan seorang anak, apa yang diharapkan seorang anak dari dirinya. Lewat pemahaman semacam inilah ayah mendapatkan petunjuk-petunjuk dalam mencari solusi sebuah masalah. Solusinya tidak selalu begitu saja bisa diketemukan, namun dengan petunjuk-petunjuk tersebut setidaknya tahu apa yang harus digali.

Tentu pemahaman ini tak bisa dicapai jika orang tua sekedar menuntut dan enggan mendengar. Sebelia apapun seorang anak ia memiliki alasan dibalik sebuah tindakan atau keputusan yang dilakukan. Jika sejak dini orang tua cukup memiliki kemauan untuk mendengar maka semestinya hubungan ini akan bisa terjaga hingga anak bertumbuh dewasa. Kenapa? Karena anak akan senantiasa tahu bahwa orang tuanya bersedia mendengar, bukan mengkritik.

Kritik sering diartikan sebagai cambukan, padahal tidak selalu demikian. Lebih-lebih jika kritik diberikan terhadap sebuah tindakan yang motivasinya sama sekali tak dipahami oleh pihak yang memberi kritik. Jika sudah demikian umumnya hasil akhir berupa kerenggangan antara anak dan orang tua. Anak merasa tidak dipahami sementara orang tua merasa anak tidak bisa dinasehati. Hilang sudah kepercayaan seorang anak terhadap orang tuanya.

Penyakit manusia dalam kapasitasnya sebagai orang tua yang juga sering menghalangi memaksimalkan peran adalah gengsi. Gengsi merupakan penyakit yang banyak menghinggapi orang tua. Demi gengsi orang tua mem-branding anaknya di hadapan orang lain. Demi gengsi orang tua rela mendiskreditkan anaknya sendiri di hadapan orang lain semata-mata melindungi diri. Namun ketika anak mencapai prestasi maka orang tua tak jarang pula membusungkan dada pertama kali.

Perpaduan antara hati dan keikhlasan rasanya merupakan kombinasi ideal menjalankan tugas sebagai ayah maupun ibu. Penanaman pola pikir masyarakat kolektif sayangnya acapkali menghalangi kedua faktor tersebut. Cerita-cerita rakyat seperti “Malin Kundang” dan sebagainya sering dijadikan senjata bagi orang tua ketika harapannya tidak terpenuhi. Sikap tidak menundukkan diri kepada orang tua serta merta dicap sebagai sikap durhaka terlepas apapun yang melatarbelakangi kejadian tersebut. Dan dengan bodohnya masyarakat di sekitarnya pun mengamini begitu saja.

Peran Ayah

Padahal jika kita mau kembali mengingat darimana asalnya tanggung jawab ini, darimana tanggung jawab ini bermula, siapa yang memampukan kita untuk menjalankan peran ini maka sungguh tak layak rasanya berharap mengambil kredit atau pujian daripadanya. Menjadi ayah, menjadi orang tua, mestinya dipandang sebagai sebuah rahmat dan kepercayaan besar. Tanggung jawab terbesar kita adalah pada pemberi mandat, Ia pulalah yang menilai bagaimana kita menjalankan mandat tersebut, kepada-Nya kita memberi pertanggungan jawab. Bukan kredit dari orang-orang di sekitar yang tak tahu apa-apa yang justru menjadi harapan, atau penilaian orang lain yang menjadi patokan.

Memosisikan diri sebagai penonton, melepaskan diri dari tanggung jawab, marah dan diam bukan proses lebih-lebih hasil yang rasanya diharapkan dari Sang Pemberi Mandat kepada kita selaku orang tua. Tugas seorang ayah adalah membimbing, bukan memberi kritik kosong. Dan sejujurnya tak peduli berapapun usia anak Anda saat ini tidak pernah ada kata terlambat untuk memperbaiki hubungan maupun peran Anda sebagai orang tua. Kecuali memang Anda berniat bersikap pengecut dan melarikan diri. Seseorang hanya gagal ketika ia memutuskan untuk menyerah, bukan ketika ia melakukan kesalahan.

Jadi para ayah, dimana posisi Anda saat ini? Playmaker yang dengan visi mengatur serangan? Atau sekedar penonton yang bersorak dari pinggir lapangan dan mengkritik tajam tanpa kontribusi nyata? Adakah sesuatu yang secara nyata sudah Anda ajarkan kepada anak? Seberapa banyak yang sudah Anda ajarkan? Atau jangan-jangan Anda saat ini pilih bersikap pengecut melarikan diri dari tanggung jawab, menyalahkan semua pihak kecuali diri sendiri?