Minat terhadap seni beladiri semakin hari semakin meningkat dalam beberapa tahun terakhir dibandingkan pada sekitar tahun 1992-an ketika pertama kali saya belajar seni beladiri. Meningkatnya minat untuk belajar beladiri bukan hanya terjadi di Indonesia namun juga terjadi di negara-negara Barat. Bahkan menurut saya pribadi perkembangan di negara Barat jauh lebih pesat ketimbang di negara Timur sekalipun pada awalnya mereka sendiri belajar dari negara-negara Timur. Setidaknya seperti itulah kesan yang saya peroleh selama tinggal di Australia.
Pada satu sisi meningkatnya minat untuk mempelajari beladiri bisa dibilang sebagai sebuah fenomena yang positif, namun pada sisi lain tentu tak lepas dari efek negatif. Salah satu efek negatif yang muncul terutama di Indonesia adalah fanatisme terhadap aliran tertentu sebagaimana pernah disinggung dalam tulisan saya beberapa tahun lalu. Fanatisme terhadap aliran beladiri tertentu pada dasarnya adalah memosisikan seseorang sebagai “katak dalam tempurung”, faktanya tak ada yang layak disebut sebagai aliran beladiri terbaik. Beladiri jalanan terbaik kalau boleh disebut adalah menghindari konfrontasi fisik!
Baik fanatisme maupun sisi negatif lain yang muncul bersamaan dengan makin populernya minat belajar beladiri acapkali diawali dari niat yang salah. Jika seseorang memulai belajar sesuatu baik beladiri ataupun hal lain dengan alasan, niat atau latar belakang yang salah maka sudah bisa hampir dipastikan hasilnya sesat.
Motivasi sesat tersebut bisa dilahirkan dari banyak hal seperti pengalaman, lingkungan dan lain sebagainya. Dalam hal ini harus diakui bahwa kondisi lingkungan yang membentuk karakter dan perilaku seseorang di Indonesia masih sangatlah jauh dari ideal.
Seperti saya sebut di atas, bahwa perkembangan beladiri di negara Barat jauh lebih pesat ketimbang Indonesia. Banyak alasan yang melatarbelakanginya, salah satunya adalah kebiasaan orang Barat untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu. Karena kebiasaan ini mereka tak sekedar belajar, namun mencoba menggali lebih dalam maknanya, mempertanyakan alasannya dan kemudian melakukan evaluasi. Pola pikir macam ini jelaslah bertentangan sama sekali dengan sikap fanatik.
Oleh karena sikap kritis dan keterbukaan itu dipadu dengan pendampingan ahli di bidang lain maka perkembangan beladiri di negara Barat terjadi dengan sangat pesat. Meski demikian pada saat yang sama popularitas seni beladiri ini tak berbanding lurus dengan meningkatnya kekerasan.
Di Australia, dalam hal ini Negara Bagian Victoria misalnya, lingkungan terbiasa untuk menjauhkan anak-anak sejak kecil dari sikap agresif dan kekerasan. Entah sikap agresif tersebut berasal dari bahasa tubuh maupun cara bicara sama sekali tak ditolerir, dan orang dewasa sungguh berhati-hati dalam menjaga sikap agar anak-anak tidak mencontoh perilaku agresif dalam berbagai bentuknya.
Sebaliknya di Indonesia yang mengaku sebagai bangsa ramah dan bangsa santun namun faktanya sikap agresif dalam bentuk kata-kata, bahasa tubuh dan bahkan tindakan fisik sedemikian mendarah dagingnya. Maka tak heran jika seseorang memiliki potensi besar untuk menjadi orang yang belajar beladiri dengan motivasi yang sudah sesat terlebih dahulu.
Di jalanan, di lingkungan pendidikan, di lingkungan kerja bahkan di rumah sekalipun agresivitas dan kekerasan menjadi bumbu sehari-hari di Indonesia. Jangan berkilah bahwa ini masalah budaya dan adat istiadat. Tidak bisa bersembunyi di balik kultur, faktanya sikap macam ini hanya pantas ditunjukkan oleh makhluk yang belum beradab alias primitif.
Tengok saja sikap kasar dan agresif ketika mengendai kendaraan bermotor, teriakan tidak wajar (gertakan) yang dipertontonkan di tempat umum padahal bukan hanya tidak pantas namun bahkan tidak perlu. Kalau itu belum cukup coba perhatikan berapa banyak orang tua terutama ayah yang ketika anaknya berulah seketika menyebut “Tak ajar kowe” (saya hajar kamu).
Tanpa harus menyebut secara spesifik masih ada lagi seni atau tontonan tradisional yang secara langsung maupun tak langsung mempertontonkan kekerasan (dalam hal ini darah) di muka umum termasuk di hadapan anak-anak tanpa peduli efek yang ditimbulkan bagi perkembangan psikologis si anak.
Beberapa contoh di atas sudah lebih dari cukup rasanya untuk menunjukkan betapa tidak kondusifnya lingkungan di Indonesia untuk menjadikan seseorang memiliki motivasi benar dalam mempelajari beladiri.
Sikap agresif, termasuk konfrontasi fisik bagi kebanyakan orang Indonesia dianggap sebagai satu-satunya solusi dalam menyelesaikan masalah. Entah karena memang tingkat peradabannya yang masih sangat rendah atau sikap tersebut ditempuh sebagai akibat ketidakmampuannya dalam menyelesaikan konflik secara terhormat atau bahkan sekedar dipengaruhi tayangan film yang tidak benar-benar terjadi di dunia nyata, saya tak punya jawabannya.
Pastinya seorang seniman beladiri sejati tahu bahwa tinju dan tendangan (kekerasan) merupakan opsi paling akhir ketika opsi lain sudah tidak bisa ditempuh. Dan opsi lain tersebut bukan hanya berdiplomasi atau menghindari konflik namun bahkan termasuk lari.
Ya, mungkin Anda berpikir lari adalah tindakan tidak terhormat. Namun sebagaimana sudah saya sebut juga pada tulisan sebelumnya bahwa pertarungan jalanan bukanlah pertarungan terhormat sebagaimana Anda tonton di film. Bahkan TIDAK PERNAH ADA KEHORMATAN YANG DIRAIH DALAM SEBUAH PERTARUNGAN JALANAN!!
Pendapat saya ini makin diperkuat ketika mengikuti sebuah workshop beladiri di Melbourne tahun lalu, Pembicara dan instruktur dalam workshop tersebut adalah seorang professional bodyguard yang juga adalah mantan anggota Navy SEAL. Sedangkan latar belakang beladiri nya sendiri selain yang diperoleh dari Navy SEAL juga meliputi BJJ, Kickboxing dan Krav Maga.
Dalam workshop tersebut makin dijelaskan bagaimana dalam kondisi terdesak pun kekerasan fisik mestinya dimaksudkan untuk mengulur waktu hingga kesempatan meloloskan diri atau meminta bantuan aparat terbuka. Maksud di luar itu bukanlah kehormatan melainkan kebodohan.
Seni beladiri sendiri sudah berkembang selama bertahun-tahun bahkan beberapa di antaranya mungkin sudah berabad-abad. Meski sebagian besar beladiri pada awalnya dimaksudkan mempertahankan diri dari pihak asing (penjajah) namun seiring dengan berkembangnya peradaban semestinya beladiri juga mampu mengadaptasi perubahan tersebut.
Pada masa kini seni beladiri manapun mestinya tidak melepaskan diri dari pengakuan atau penghormatannya terhadap hukum yang berlaku serta norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat yang beradab. Jika seni beladiri sungguh-sungguh mempertimbangkan kedua aspek tersebut maka mestinya setiap seniman beladiri pun memegang teguh falsafah untuk menggunakan kekerasan sebagai pilihan terakhir.
Pikirkan ini, jika seseorang melakukan tindakan fisik terhadap orang lain maka di hadapan hukum bakal sulit sekali untuk membenarkan tindakannya kecuali benar-benar bisa dibuktikan unsur pembelaan dirinya.
Kedua, sekalipun dalam upaya mempertahankan diri namun pukulan (kekerasan) dilihat dari sudut manapun tak pernah terbukti menyelesaikan masalah atau menjadikan pemikiran/pendapat/keyakinan/pendirian atau apapun yang dibela dengan jalan tersebut menjadi benar atau diterima. Sebaliknya dalam banyak kasus kekerasan fisik justru menimbulkan pada kekerasan fisik lainnya.
Ketiga, andaikata hal pertama dan kedua di atas tidak terjadi (yang mana hal tersebut nyaris mustahil) maka masih ada efek lain yang tak bisa dikesampingkan yaitu korban. Siapkah seseorang menerima fakta bahwa dirinya melakukan kekerasan fisik yang berakibat fatal bagi orang lain? Bagaimana menghadapi bayangan penyelasan itu seumur hidup? Bagaimana mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut pada saatnya nanti?
Keempat, sadarkah Anda bahwa selain di film-film nyaris tak ada perkelahian dimana hanya satu pihak yang mengalami cedera parah? Menang atau kalah kedua belah pihak bisa dipastikan mengalami cedera. Seriously, seorang teman saya di salah satu klub beladiri terlibat perkelahian jalanan. Dalam pertarungan itu dia memang menang dan merontokkan dua gigi lawannya. Namun pada saat yang sama kepalan tangannya cedera oleh gigi tersebut dan entah bagaimana ternyata terinfeksi cukup parah serta harus menjalani operasi. Beruntung cedera tersebut bisa disembuhkan. Bagaimana jika cedera tersebut permanen? Layakkah sebuah pertarungan jalanan dibayar dengan cedera seumur hidup? Ingat sekali lagi bahwa menang ataupun kalah TIDAK PERNAH ADA KEHORMATAN YANG DIRAIH DALAM SEBUAH PERTARUNGAN JALANAN!!
Oleh karena alasan-alasan tersebut di ataslah maka sebagian besar beladiri modern yang berkembang di negara Barat saat ini lebih banyak mengajarkan teknik grappling serta open-handed strike. Mengapa? Karena sesuai namanya “beladiri” mestinya memiliki fungsi dan tujuan untuk mempertahankan diri bukan melukai, melumpuhkan lebih-lebih mematikan lawan. Grappling dan open-handed strike dianggap lebih masuk akal atau sesuai dengan tujuan tersebut ketimbang tendangan dan kepalan tangan, apalagi senjata. Jadi kalau masih ada yang mempertanyakan efektivitas teknik tangan kosong menghadapi senjata tajam misalnya, well, I think you missed the whole point!
Lantas bagaimana dengan kita yang adalah bangsa Timur? Bangsa Timur yang adalah pelopor munculnya seni beladiri, bangsa Timur yang mengaku diri lebih mengerti sopan santun.
Terus terang saja kalau mau membuka diri dan sedikit saja mengesampingkan arogansi yang melabeli diri kita sendiri sebagai bangsa yang ramah dan santun maka kita bisa dengan mudah menyadari betapa kebiasaan-kebiasaan bangsa ini masih lekat dengan makhluk primitif yang belum mengenal peradaban.
Tawuran pelajar? Melampiaskan kemarahan dengan serangan fisik? Bertingkah agresif? Bukankah itu ciri-ciri manusia jaman batu? Atau bahkan manusia gua? Kalau memang kita masih mau mempertahankan hal-hal tersebut maka mungkin lebih jujur jika kita melabeli diri kita sendiri sebagai “Kumpulan Manusia Gua” ketimbang “ Bangsa yang Ramah dan Santun”.
Lebih menyedihkan lagi jika kekerasan tersebut diilhami oleh film-film action Barat yang sarat unsur kekerasan. Kenapa? Itu cuma film bung! Saya tidak tahu bagaimana di Amerika yang menghasilkan film-film Hollywood, yang jelas di Australia tidak ada perilaku macam itu dalam kehidupan sehari-hari, bahkan kata-kata umpatan yang menjadi makanan sehari-hari bangsa Indonesia hampir tidak pernah terdengar dalam keseharian masyarakat Australia. Di Australia sikap agresif, bahkan meski hanya sekedar bahasa tubuh atau kata-kata disebut sebagai tindakan anti sosial. Dan sikap ini sama sekali tidak ditolerir oleh masyarakat.
Jadi jika Anda adalah salah satu yang menggunakan kata-kata “F**k”, sh*t dan kawan-kawannya maka cuma satu kata buat Anda: “Idiot”
Sebaliknya jika Anda merasa sebagai seorang yang santun dan beradab, jika lain kali berada dalam situasi yang memprovokasi Anda untuk berkonfrontasi: Just calm down and walk away… Seringkali pertarungan provokator adalah pertarungan dengan dirinya sendiri, bukan dengan orang lain jadi tak ada manfaatnya ikut campur.
Honestly, masyarakat Indonesia terlalu mengumbar sikap agresif yang sama sekali tidak perlu, dalam banyak hal saya lihat perilaku ini sebenarnya hanyalah pelampiasan terhadap rasa kecewa terhadap diri sendiri. rasa rendah diri ataupun pelampiasan kegagalan dalam hidupnya. Orang manapun bisa tahu bahwa hanya pecundang yang mengatasi kekecewaan dan kegagalan diri sendiri lewat tindakan non produktif
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A
One Reply to “Beladiri, Perilaku Agresif dan Peradaban”
Comments are closed.