Di film-film para (pem)bully acapkali digambarkan dengan karakter tokoh berbadan besar yang mencari popularitas dengan melakukan intimidasi terhadap karakter yang lebih lemah terutama dari segi fisik. Pada kondisi tersebut si (pem)bully biasanya berhadapan langsung atau face to face dengan korbannya, karena itu (pem)bully harus pintar-pintar memilih mangsa untuk memastikan target tersebut tidak berbalik melawannya. Kalaupun hal itu terjadi setidaknya si (pem)bully merasa yakin cukup mampu mengatasi secara fisik.

Apa yang digambarkan oleh film-film tersebut adalah bentuk bullying di masa lalu, kini dalam dunia yang lebih modern bentuk bully juga turut bertransformasi. Dan jangan dibayangkan bahwa (pem)bully hanya berkeliaran di sekolah, kampus atau asrama, faktanya fenomena ini terjadi dalam lingkungan yang lebih luas dan bahkan dilakukan di dialami oleh berbagai kelompok usia, pendidikan maupun pergaulan.

Bahkan sebelum internet menjadi komoditas umum bully perlahan-lahan sudah mulai bertransformasi dari yang semula hanya merupakan intimidasi fisik berubah menjadi intimidasi mental. Bentuknya pun bermacam-macam mulai dari pembentukan opini alias menebar isu terhadap pribadi atau kelompok tertentu hingga pada level yang lebih intelek bahkan tak jarang dilakukan dengan menyusun fakta-fakta palsu untuk mendukung klaim si pem-bully.

Menghadapi Pembully

Dalam masyarakat yang kurang produktif dan gemar gosip, serta kurang memiliki minat maupun kemampuan untuk melakukan cross check lebih-lebih analisa seperti masyarakat Indonesia tentu saja bentuk bully semacam ini bisa begitu cepat menyebar. Bahkan efektivitasnya lebih tinggi ketimbang intimidasi fisik. Dalam beberapa kasus bahkan si (pem) bully rela menempatkan atau mem-branding diri sebagai korban untuk menguatkan klaim serta upayanya membentuk opini publik.

Kini dengan makin memasyarakatnya internet, jejaring sosial maupun blog pun turut menjadi alat bagi tindakan bully ini. Facebook dan Twitter adalah dua jejaring sosial yang paling umum digunakan oleh para pelaku cyber bullying. Mereka-mereka ini melihat bahwa internet dan berbagai platform yang ada merupakan wadah bagi mereka untuk melempar berbagai isu tanpa peduli konsekuensi dari tindakannya.

Di mata para pem- bully internet seolah merupakan senjata baru untuk menyalurkan kegemarannya itu. Lantas apa sebenarnya yang diperoleh para (pem) bully dari aktivitas non produktifnya tersebut? Keuntungannya tak lain adalah kesenangan alias hiburan. Bukan rahasia bahwa pelaku bully adalah mereka yang haus akan perhatian dan menikmati “moment drama”.
Berkat internet dan jejaring sosial-nya kaum pembully ini seperti menemukan lahan bermain dimana mereka bisa memperoleh hiburan dengan investasi yang relatif murah namun efeknya bisa jadi luar biasa.

Dan sama seperti pembully di masa lalu yang sikap pengecutnya tampak dari pereferensinya untuk mencari sasaran yang lemah, pembully modern pun sama pengecutnya sebab tak berhadapan face to face dengan korban.

Mereka ini tidak tahu atau bahkan tak sadar bahwa informasi atau isu sesat yang mereka sebarkan bisa merugikan atau bahkan menyakiti pihak-pihak tertentu. Terkadang semakin besar reaksi atau respon yang dilakukan oleh pihak korban, teman korban atau keluarga korban justru semakin besar kepuasan dalam diri si (pem)bully. Serangan balik yang ditujukan kepada pelaku bully non fisik umumnya merupakan reaksi yang justru diharapkan oleh yang bersangkutan dan memancing dirinya untuk bertindak semakin jauh. Sebaliknya jika tidak mendapat reaksi atau kehilangan momentum biasanya (pem)bully akan berhenti melakukan aksi dan beralih mencari sasaran lain.

Lalu bagaimana menghadapi (pem)bully modern? Melakukan aksi blokir, meng-hack akun, memberi penjelasan kepada publik dan sebagainya bukanlah pilihan bijak. Umumnya korban akan tergesa-gesa memberikan jawaban yang bertujuan untuk klarifikasi, namun (pem)bully modern seperti sudah disebut muncul dalam wujud sosok innocent atau bahkan lebih ekstrim lagi memosisikan/menskenariokan diri sebagai korban. Karenanya klarifikasi acapkali justru bisa menjadi blunder, kalaupun tidak maka bakal menjadi sebuah proses non produktif yang menghabiskan energi.

Dari situ sudah jelas bahwa seperti halnya dalam menghadapi isu negatif apapun yang terbaik adalah tidak bereaksi dan membiarkannya berlalu. Semakin besar energi dan reaksi yang diberikan maka akan semakin berkelanjutan prosesnya.
Jika memang isu, tuduhan atau apapun yang dialamatkan tersebut tidak benarJust, don’t buy into it!. Jangan memberi orang-orang pengecut itu bahan baru untuk melakukan aksi bully nya dengan memberi respon atau reaksi. Tengok bagaimana para public figure yang menjadi korban (pem)bully dan melakukan klarifikasi, bukankah mereka justru menjadi bulan-bulanan?

Pahamilah bahwa pelaku bully adalah attention-seeking low-life yang tak peduli dengan perasaan orang lain, satu-satunya yang dipedulikan adalah perasaannya sendiri dan perhatian yang diberikan kepadanya.

Beberapa negara salah satunya Australia tengah giat mengkampanyekan program Stop Bullying. Mungkin sudah saatnya pula di Indonesia sedini mungkin anak-anak sekolah diajarkan cara menghadapi para (pem)bully ini. Salah satunya adalah dengan mengekspos niat dan karakter umum pembully yang sudah disebutkan tadi yaitu attention-seeking low-life yang membutuhkan reaksi orang lain untuk melanjutkan aksinya. Jika Anda adalah salah satu korbannya, just ignore it and move on, masih banyak hal produktif yang layak mendapat perhatian dan energi Anda ketimbang mengurusi low-life yang bermasalah dengan dirinya sendiri.

Pada sisi lain orang tua juga semestinya lebih bijaksana dalam mengijikan anaknya yang masih belum stabil secara emosional dalam memanfaatkan jejaring sosial. Kemajuan teknologi yang tak diimbangi kedewasaan mental orang tua dengan cara mengijinkan anaknya memiliki akun di situs jejaring sosial juga seringkali menjadi sebuah situasi yang menguntungkan para (pem)bully di dunia maya.

Remember, the bully has the problem, not you!