Kegiatan usaha senantiasa melibatkan hubungan antara pelaku usaha dan konsumen. Hubungan ini pada dasarnya berlangsung secara seimbang karena terjadi hubungan yang saling membutuhkan. Pelaku usaha membutuhkan konsumen untuk membeli barang dan/atau jasa yang dijualnya sedangkan konsumen membutuhkan barang dan/atau jasa yang dihasilkan pelaku usaha. Dengan demikian dalam hubungan ini akan terjadi upaya pelaku usaha supaya barang dan/atau jasa yang ditawarkan dibeli oleh konsumen. Salah satu
upaya menarik minat konsumen membeli barang dan/atau jasa yang ditawarkan adalah dengan melalui iklan.

Iklan pada hakekatnya adalah penawaran mengenai suatu barang dan/atau jasa tertentu kepada pihak lain. Penawaran ini kemudian menyebutkan karakteristik dan keunggulan barang dan/atau jasa yang ditawarkan. Upaya ini dilakukan untuk menarik minat dan kesadaran konsumen akan barang dan/atau jasa tertentu yang pada akhirnya diharapkan terjadi transaksi pembelian. Disinilah awal munculnya permasalahan, yaitu saat pelaku usaha membuat sebuah iklan yang disajikan tanpa memberikan seluruh informasi mengenai produk bersangkutan sehingga menimbulkan kesalahan dalam menerima informasi.

Sebagai salah satu contoh adalah iklan sim card pro XL yang mengatakan bahwa tarif XL seluruh operator adalah Rp 0,1 per detik. Iklan tersebut disebarluaskan kepada khalayak dalam berbagai media yaitu televisi, koran, majalah, spanduk dan baliho. Berdasarkan iklan tersebut masyarakat menangkap bahwa tarif XL seluruh operator adalah Rp 0,1 per detik. Tarif tersebut memang benar demikian akan tetapi ada informasi yang terkesan sengaja “disembunyikan”.

Faktanya untuk sesama XL selama 60 detik pertama dikenakan tarif 2 Rp 12,5 per detik kemudian setelah detik ke 61 sampai selama 30 menit berlaku tarif Rp 0,1 per detik; setelah itu perhitungan tarif kembali berulang sepperti awal menelepon. Sedangkan untuk ke lain operator berlaku ketentuan tarif yang dikenakan untuk 2 menit pertama adalah Rp 25 per detik kemudian setelah 2 menit sampai selama 2 menit berlaku tarif Rp 0,1 per detik, setelah itu perhitungan tarif kembali berulang sepperti awal menelepon.
Berdasarkan informasi tersebut maka diketahui bahwa pengenaan tarif Rp 0,1 per detik yang berlaku untuk seluruh operator dikenakan sejumlah syarat dan ketentuan yang tidak diinformasikan kepada konsumen. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa terdapat informasi yang tidak disampaikan dengan jujur oleh pelaku usaha dalam hal ini XL dalam menawarkan layanan jasa yang dijualnya.

Tindakan ini menyebabkan interpretasi yang salah dibenak konsumen. Pada iklan XL versi telepon ke semua operator hanya 0,1 per detik tersebut (sama dengan Rp 360 perjam) ada dua kemungkinan tindakan yang dilakukan oleh konsumen. Pertama, konsumen akan mencari tahu syarat dan ketentuan yang berlaku sebab tarif ini lebih murah dari telepon ke sesama XL yang Rp 687 per jam. Kedua, konsumen menerima pesan iklan sebagaimana nampaknya yaitu biaya telepon ke semua operator seharga Rp 0,1 per detik. Tindakan pertama akan disadari oleh konsumen yang kritis dan tidak mudah percaya oleh iklan, namun tidak sedikit konsumen yang terjebak dalam tindakan kedua.

Mendasarkan pada fenomena sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat diketahui bahwa XL menyembunyikan fakta tertentu dalam beriklan. Perlu digaris bawahi bahwa yang dilakukan XL adalah menyembunyikan atau tidak menyampaikan sejumlah informasi tertentu (tidak sama dengan melakukan penipuan). Tindakan ini dapat menyebabkan timbulnya persepsi yang tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.

Tindakan menyembunyakan informasi dalam beriklan ini telah melanggar ketentuan bahwa pelaku usaha dilarang mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara yang menyesatkan konsumen mengenai harga/tarif suatu barang dan/jasa (lihat pasal 10 huruf a UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Selain itu dapat pula dikatakan bahwa pelaku usaha telah melakukan tindakan yang dilarang dengan memproduksi iklan yang mengelabui konsumen mengenai harga/tarif jasa (lihat pasal 17:1 huruf a UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Pelaku usaha dalam beriklan sesungguhnya juga diwajibkan untuk mematuhi etika periklanan dan undang-undang periklanan (lihat pasal 17 ayat 1 huruf f UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Ditambahkan pula bahwa tindakan pelaku usaha ini melanggar kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang jelas mengenai jasa yang ditawarkan sekaligus melanggar hak konsumen untuk menerima hak atas informasi. Terhadap pelanggaran pasal-pasal tersebut diatas diancam dengan sanksi pidana penjara atau pidana denda sebagaimana diatur dalam pasal 62 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dilihat dari etika periklanan sebagaimana diatur dalam Tata Cara dan Tata Krama Periklanan Indonesia maka menyembunyikan sejumlah informasi dalam beriklan dikatakan melanggar asas umum yang pertama yakni iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Iklan harus jujur artinya dalam beriklan pelaku usaha tidak boleh menyesatkan; menyimpan sebagian informasi sehingga dapat dipersepsi secara salah bagi konsumen dapat dkatakan merupakan salah satu bentuk dari iklan yang menyesatkan. Pelaku usaha juga diharuskan untuk bertanggungjawab dalam beriklan sehingga iklan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat. Dengan demikian apabila pelaku usaha dalam beriklan menyembunyikan sejumlah informasi tertentu, maka dapat dikatakan pelaku usaha telah menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan konsumen.

Mendasarkan pada uraian diatas maka perlu diperhatikan mengenai pembuatan iklan agar iklan tidak semata-mata digunakan sebagai alat untuk menawarkan barang/jasa tertentu. Pelaku usaha sudah barang tentu memahami perilaku konsumen yang dibidiknya dalam menerima dan menyikapi informasi yang diberikan. Dengan demikian, tidaklah etis untuk memanfaatkan ketidakkritisan konsumen dalam menerima informasi yang pada akhirnya akan menyesatkan persepsinya. (Indirani Wauran, staf pengajar FH UKSW dan associate Sinergi Consulting)