“The Art of War”, sebuah buku yang konon berisikan ajaran-ajaran dari sang ahli strategi perang yang legendaris menjadi demikian populer dan diadaptasi untuk dunia bisnis. Belum lagi beberapa judul buku lain yang menganalogikan bisnis baik medan tempur.
Satu bulan belakangan ini saya disibukkan dengan membuat berbagai review untuk produk-produk elektronik utamanya Tablet, Laptop dan HDTV. Maklum memang akhir November adalah musim belanja yang sangat sibuk di AS terlebih pada Black Friday dan Cyber Monday yang baru saja berlalu.
Selama membuat review tersebut saya temukan betapa banyak calon pembeli yang mencari informasi dan mencari daftar “Tablet Terbaik”, “Laptop Terbaik” dan yang “terbaik” dari produk-produk lain.
Ketika mencoba mencari tahu yang terbaik dari setiap kategori produk tersebut saya dapatkan fakta bahwa dari beberapa situs yang kredibel tak satupun yang memiliki pendapat sama mengenai produk apa yang terbaik dalam masing-masing kategori tersebut.
Pun ketika mencoba menelusuri testimoni dari mereka yang sudah menggunakan masing-masing produk tersebut faktanya selalu ada pro dan kontra untuk tiap produk.
Jelas bahwa pada faktanya tak ada produk yang bisa sungguh-sungguh menjadi “yang terbaik” sebab kriteria terbaik senantiasa berbeda untuk setiap orang. iPad 2 mungkin adalah yang terbaik bagi penggemar multimedia dan mereka yang peduli akan kualitas layar, ASUS Transformer dianggap terbaik oleh mereka yang banyak memiliki aktivitas mengetik, Archos G9 bisa jadi adalah pilihan terbaik bagi rata-rata mahasiswa yang budget-nya terbatas. Sementara Samsung Galaxy Tab 7 dianggap terbaik oleh sebagian orang lain karena memiliki kemampuan voice call.
Ada banyak atribut dari tiap produk yang dinilai berbeda pula oleh setiap konsumen sesuai kebutuhan, budget dan persepsinya. Jadi ketika semua tablet tersebut diadu head to head untuk mencari yang terbaik hasilnya tak akan banyak berarti bagi calon pembeli untuk menentukan pilihan.
Porter pernah menyebutkan bahwa memadang bisnis sebagai sebuah kompetisi untuk menjadi yang terbaik adalah pola pikir yang tidak tepat. Justru ketika perusahaan menempatkan dirinya pada posisi demikian seringkali hanya membawa perusahaan tersebut sebagai mediocre.
Alasannya sederhana, bahwa dalam sebuah bisnis sekedar menjadi yang terbaik tidaklah cukup. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana sebuah produk/jasa mampu memberikan value yang tepat bagi target market-nya.
Jelaslah ketika para penulis, konsultan dan pembicara mengibaratkan bisnis sebagai perang atau kompetisi seperti F1 atau sepak bola sangatlah tidak tepat. Dalam perang ataupun kompetisi olah raga ada aturan yang baku dan pada akhirnya melahirkan hanya satu pemenang saja.
Sementara bisnis tidaklah demikian, setiap pemain bisa menentukan nilainya sendiri, segmennya sendiri dan menjadi pemenang di pasarnya sendiri. Apple sukses di pasarnya dengan menawarkan kelebihan dalam hal desain, sementara ASUS yang datang dengan reliabilitas tinggi namun desainnya relatif sederhana dibanding Apple juga meraih kesuksesan di pasarnya sendiri.
Apple dan ASUS mengidentifikasi kebutuhan yang berbeda dari masing-masing konsumen karenanya kedua produsen ini menawarkan nilai yang berbeda pula. Mengidentifikasi ceruk pasar sekaligus memberikan nilai yang tepat bagi ceruk pasar tersebut adalah seni bukan perang ataupun kompetisi, dan bisnis adalah seni.
Porter pun menekankan alih-alih bersang menjadi yang terbaik, sebuah usaha haruslah bersaing untuk menjadi unik. Cara adalah melalui inovasi dalam rangka memberikan superior value bagi pelanggannya, bukan sekedar meniru apa yang dilakukan oleh kompetitor.
Adalah sebuah kebodohan manakala seseorang berpikir untuk meniru apa yang dilakukan oleh orang lain dan berharap suatu ketika dirinya akan menjadi superior dalam kondisi kompetisi semacam ini.
Sama halnya seperti manusia, perusahaanpun tak bisa memuaskan keinginan setiap segmen. Karena itu bidik segmen yang tepat kemudian berikan nilai dan manfaat nyata yang bsa dirasakan oleh segmen tersebut.
Menganalogikan bisnis sebagai sebuah seni adalah lebih tepat ketimbang menganalogikannya sebagai sebuah kompetisi atau pertempuran. Dalam seni ada banyak aliran musik atau lukisan dan masing-masing memiliki penikmatnya sendiri.
Memang pendekatan ini pada akhirnya tetap berujung pada kompetisi, namun kompetisi yang dihasilkan adalah sebuah kompetisi positif dimana baik pelaku usaha maupun pelanggan akan beroleh manfaat. Bukan kompetisi yang sekedar mencari pemenang namun tak banyak manfaatnya bagi pelanggan.
Kesimpulannya alih-alih berfokus pada kompetitor pelaku usaha sebaiknya berfokus pada segmen pelanggan yang dilayani dengan mengedepankan penciptaan nilai yang memberi manfaat bagi pelanggannya. Sementara di pihak lain pelanggan dalam membuat keputusan beli hendaknya tidak mencari yang terbaik dari yang terbaik dari kategori produk tertentu namun mencari apa yang paling sesuai dengan kebutuhannya.
Pelaku usaha yang mampu memberikan nilai lebih (superior value) bagi pelanggan akan memperoleh keuntungan dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Di pihak lain konsumen mendapatkan manfaat yang nyata dari sebuah produk sesuai apa yang dibutuhkannya.
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A