Pada tulisan sebelumnya sudah disinggung bahwa menganalogikan bisnis dengan perang adalah sebuah pendekatan yang tidak tepat. Pemikiran tersebut didasarkan pada tulisan Porter mengenai “Five Forces”.

Setelah lebih dalam menelaah tulisan yang sama ternyata selama ini banyak kesalahan-kesalahan yang umum dilakukan terkait strategi. Kesalahan tersebut bagaikan jebakan yang secara umum dan berulang dilakukan oleh para pemimpin.

Contents

Marketing diasumsikan sama dengan strategi.

Value proposition umumnya dijadikan titik awal dalam marancang sebuah strategi, dan memang secara intuitif banyak orang akan merancang strategi berangkat dari kebutuhan pasar/konsumen.

Meski demikian mempersamakan antara marketing dan strategi tidaklah tepat. Strategi harus memperhatikan value chain dan bagaimana cara yang paling tepat untuk menyampaikan value tersebut kepada konsumen.

Yang lebih penting adalah bahwa merancang strategi bukan hanya didasarkan pada intuisi, sebab sebuah organisasi tidak boleh terjebak untuk melakukan kegiatan yang sama dengan para kompetitornya. Sebab kondisi ini tak akan membawa organisasi pada keunggulan kompetitif yang diharapkan.

Sebaliknya sebuah organisasi harus mampu memberikan nilai yang berbeda dengan cara yang berbeda pula. Dengan demikian akan terciptalah keunggulan kompetitif yang diharapkan.

Keunggulan Kompetitif disamakan dengan “apa yang dianggap sebagai kelebihan organisasi”

Mengeksploitasi kekuatan memang adalah hal yang positif, namun banyak organisasi yang kemudian terjebak pada kondisi menilai diri sendiri lebih dari apa yang sesungguhnya.

Padahal kekuatan yang sesungguhnya adalah area dimana sebuah organisasi mampu melakukan dan men-deliver secara lebih unggul dibanding kompetitornya.

Dan keunggulan tersebut bukan muncul karena melakukan hal yang sama secara lebih baik. Sebaliknya, keunggulan tersebut tercipta karena organisasi mampu menemukan kebutuhan konsumen yang tidak dilihat oleh para kompetitor dan selanjutnya mampu memenuhi kebutuhan tersebut lebih daripada kompetitor.

Terobesi untuk menjadi organisasi yang lebih besar

Obsesi untuk menjadikan sebuah organisasi menjadi besar adalah jebakan klasik yang bukan hanyak menjebak orang awam namun para pemimpin senior sekalipun.

Banyak orang berpikir bahwa menjadi lebih besar akan menjamin organisasi mampu bersaing dan memperoleh keuntungan yang lebih baik.

Kenyataannya tidaklah demikian. General Motors (GM) adalah perusahaan mobil terbesar di dunia selama beberapa dekade, faktanya ketika krisis melanda AS dan Eropa GM harus rela menyatakan diri bangkrut.

Sebaliknya perusahaan mobil asal Jerman, BMW adalah perusahaan yang tergolong kecil dibanding GM namun bukan hanya mampu bertahan menghadapi krisis AS dan Eropa namun selama beberapa dekade mencatatkan diri sebagai perusahaan mobil penghasil profit di atas rata-rata profit industri otomotif.

Target dianggap sebagai strategi

Jangan sesekali menyamakan antara target yang hendak dicapai dengan strategi. Pertumbuhan, pencapaian pangsa pasar dan sebagainya bukanlah strategi. Jika mengacu pada definisi yang diberikan oleh Porter, strategi adalah serangkaian pilihan tindakan yang bertujuan untuk mencapai keunggulan dalam rangka menghadapi persaingan. Dengan kata lain strategi adalah sebuah positioning dalam pencapaian tujuan.

Dengan demikian menyamakan target dengan strategi adalah sebuah kesalahan yang membuat orang terjebak karena merasa telah memiliki sebuah strategi meski pada kenyataannya tidak demikian.

Mengikuti Trend

Banyak organisasi apapun bentuknya terjebak mengikuti tren yang berkembang. Universitas-universitas misalnya beramai-ramai memposisikan diri sebagai pencetak entrepreneur atau profesional di bidang hukum bisnis. Perusahaan-perusahaan beramai-ramai mendirikan UBS untuk memproduksi tablet atau smartphone.

Kesemuanya dilakukan semata-mata karena bidang-bidang tersebut sedang berkembang dan diasumsikan banyak peminatnya. Tentu harapannya akan meraih keuntungan dari trend ini.

Kenyataannya menggarap trend tak selamanya merupakan pilihan bijak sebab bidang atau industri yang sedang bertumbuh tentu banyak dilirik pula oleh kompetitor sehingga persaingannya akan cenderung berdarah-darah. Jika sebua organisasi tak cukup memiliki keunikan maka hampir dipastikan akan terjebak pada perang harga yang tidak menguntungkan bagi keberlangsungan organisasi sendiri.

Intel Corp misalnya, bermodal keyakinan dan pengalamannya di industri semikonduktor mencoba memasuki pasar tablet yang tampak menjanjikan. Namun ternyata perusahaan yang terkenal dengan produk prosesornya ini harus menerima kenyataan menyerah lebih dini karena produk tabletnya tak mendapat reaksi positif dari pasar.

Potter mengingatkan bahwa godaan untuk masuk ke industri yang sedang menjadi trend/bertumbuh seringkali adalah sebuah keputusan buruk.