Pekan lalu pada seri pembuka Formula 1 musim 2014 yang berlangsung di Albert Park, Melbourne, Australia tiga pembalap muda: Daniel Ricciardo, Kevin Magnussen dan Daniil Kvyat tampil dengan mengesankan. Dan dan Kevin bahkan naik ke podium meski pada akhirnya Dan (Ricciardo) harus merelakan poin nya dianulir.
Infiniti Red Bull Racing, tim dimana Dan bernaung memang mengajukan banding atas anulir tersebut. Besar harapan International Court of Appeal (ICA) tak akan memenangkan Red Bull, sebab seperti dikatakan oleh bos Marussia, Graeme Lowdon kepada SkySports beberapa waktu lalu bahwa jika sampai ICA memenangkan banding Infiniti Red Bull Racing maka keputusan itu akan menjadi semacam preseden. Akibatnya tim-tim lain akan melakukan langkah serupa dikemudian hari. Akibatnya hasil lomba akan dipenuhi dengan ketidakpastian
Sebenarnya yang lebih kontroversial dari keputusan terhadap Infiniti Red Bull Racing dan Daniel Ricciardo di Melbourne kemarin justru adalah keputusan menganulir poin dan podium Dan. Tentu pecinta Formula 1 masih ingat beberapa tahun lalu McLaren pernah mendapat anulir dalam skandal “spygate” pada tahun 2007, namun poin yang diperoleh dua pembalapnya Fernando Alonso dan Lewis Hamilton tidak diutak-atik sebab tidak dianggap sebagai kesalahan pembalap. Demikian pula ketika pada tahun 2000 salah satu komponen di mobil Mika Hakkinen terlepas, hukuman diberikan kepada tim bukan kepada Mika sebagai pembalap. Logikanya yang terjadi pada Infiniti Red Bull Racing dan Dan Ricciardo juga tak berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya.
Terlepas dari kontroversi tersebut serta terlepas dari kenyataan bahwa podium kedua yang diraih Dan pada akhirnya dianulir, penampilan pembalap asal Australia tersebut lebih dari cukup untuk membuktikan dirinya layak duduk di tim Infiniti Red Bull Racing. Bukan hanya itu, penampilan Dan seolah mampu memberikan janji kepada publik Australia yang berharap munculnya legenda baru di dunia Formula 1 berkebangsaan Australia setelah era Jack Brabham yang meraih gelar juara dunia pada tahun 1959, 1960 dan 1966 serta Alan Jones pada tahun 1980.
Sebelumnya harapan publik Australia diletakkan pada Mark Webber yang nyaris menjadi juara dunia pada tahun 2010. Namun hingga akhirnya memutuskan pensiun di akhir musim balap tahun lalu pembalap asal NSW ini belum mampu sepenuhnya memenuhi harapan publik Australia.
Ketika Infiniti Red Bull Racing akhirnya mengumumkan nama Daniel Ricciardo sebagai pengganti Mark, sontak publik Australia pun menyambut dengan antusias. Bahkan sebelum Dan menunjukkan penampilan luar biasanya bersama mobil rancangan Adrian Newey di Melbourne pekan lalu pun harapan publik begitu tinggi.
Lantas apa yang membedakan Mark dengan Dan hingga publik Australia menaruh harapan demikian tinggi terhadap pembalap asal Perth tersebut?
Mark memulai karirnya dari bawah dan dalam kondisi yang lebih tidak menguntungkan jika dibanding junior-nya yang kini menggantikan posisinya di Infiniti Red Bull Racing. Perjuangannya menuju dunia Formula 1 sangatlah berliku, masa mudanya lebih banyak dihabiskan untuk mencari sponsor ketimbang berfokus meningkatkan skill serta pengalaman balapnya.
Ketika akhirnya kesempatan datang lewat tawaran bergabung dengan tim elite Infiniti Red Bull Racing untuk menjadi partner David Coulthard kala itu usia Mark sudah tidak lagi muda. Sebaliknya Daniel Ricciardo sudah berkesempatan bergabung dengan tim elite pada usianya yang relatif muda yaitu 24 tahun, perjalanan karirnya masih panjang demikian pula kesempatannya untuk menjadi juara dunia di ajang balap paling bergengsi itu.
Sebelum bergabung dengan Infiniti Red Bull Racing pun catatan yang ditorehkan oleh Dan lebih baik ketimbang Jean-Éric Vergne, rekan setimnya di Toro Rosso sekaligus rivalnya dalam memperebutkan kursi di Infiniti Red Bull Racing yang kala itu ditinggalkan oleh Mark Webber.
Dari kebersamaan keduanya di Torro Rosso selama dua musim atau tepatnya 39 seri, Dan mengalahkan rekan asal Perancis-nya itu dalam kualifikasi sebanyak 30 kali. Catatan fantastis yang hanya bisa disamai oleh rekan satu timnya saat ini di Infiniti Red Bull Racing, Sebastian Vettel yang adalah juara dunia empat kali.
Kelemahan yang dimiliki oleh Dan saat itu adalah kemampuan mengambil keuntungan dari hasil kualifikasinya tersebut dalam perlombaan (main race). Sepanjang karirnya di Formula 1, tidak termasuk balap pertamanya bersama Infiniti Red Bull Racing pekan lalu Dan hanya mampu dua kali finish di urutan sepuluh besar pada seri China dan Italia musim lalu.
Memang ketika pekan lalu akhirnya Dan menyelesaikan lomba di posisi kedua timbul pro dan kontra apakah hasil tersebut mencerminkan skill sang pembalap ataukah berkat ketangguhan mobil Infiniti Red Bull Racing.
Melihat bahwa dua mobil lain yang finish di posisi pertama, ketiga dan keempat adalah mobil-mobil bermesin Mercedes (1 mobil Mercedes AMG dan 2 mobil McLaren) dimana Mercedes hingga saat ini adalah yang tercepat dibanding Renault dan Ferrari rasanya tak berlebihan jika podium tersebut juga adalah cerminan dari skill sang pembalap.
Selain itu fakta bahwa Dan menyelesaikan lomba yang berlangsung selama 58 putaran setidaknya juga membuktikan bahwa pembalap asal Perth tersebut bukan hanya tangguh dalam kualifikasi namun mampu mempertahankan penampilannya untuk jangka waktu yang panjang.
Selain catatan di tim junior (Toro Rosso) yang setara dengan Sebastian Vettel sang juara dunia 4 kali (sejauh ini), ada kesamaan lain antara Dan dengan Seb dimana keduanya adalah pembalap binaan Red Bull sejak awal karir balap masing-masing. Karenanya di atas kertas semestinya Dan memiliki peluang yang sama dengan Seb.
Namun langkah Dan bisa jadi tidak bakal mulus, sebab dalam angkatannya sesama pembalap masa depan Formula 1 masih ada nama-nama lain yang berpotensi mengganjal ambisi Dan serta harapan publik Australia. Mereka itu tak lain adalah Daniil Kvyat yang juga binaan Red Bull, Kevin Magnussen serta Valtteri Bottas.
Pada debutnya dengan Toro Rosso Daniil menunjukkan potensi serta hasil yang meyakinkan. Sementara Kevin adalah pembalap hasil binaaan tim McLaren yang juga adalah salah satu tim elite di Formula 1, bisa diduga bahwa McLaren pun memiliki sistem pembinaan pembalap muda yang setara dengan Infiniti Red Bull Racing.
Sementara itu Valtteri yang masuk dunia Formula 1 dengan koneksi sang legenda Mika Hakkinen adalah rival Dan ketika keduanya masih berada di ajang Formula Renault.
Jika selama ini Valtteri tidak banyak terdengar itu bukan karena skill-nya melainkan tim Williams Racing tempatnya bernaung meski pernah menjadi salah satu tim elite namun tenggelam selama beberapa tahun terakhir. Kebangkitan Williams bisa jadi merupakan momen bagi Valtteri.
Berkaca dari kesuksesan serta perjalanan karir Sebastian Vettel, sejauh ini pembalap asal Jerman itu selalu tampak sebagai pembalap yang paling siap secara mental. Bahkan di tengah kebencian publik dan perlakuan tak menyenangkan yang dilakukan oleh fans setelah insiden “Multi 21” di Sepang tahun lalu bersama Mark Webber, Seb masih mampu mempertahankan performanya dan seolah tak terusik oleh tingkah laku para pembenci.
Banyak yang menilai bahwa kesiapan mental Seb adalah hasil dari sistem pendidikan yang dilakukan oleh Infiniti Red Bull Racing. Jika benar demikian maka secara teoritis Dan bisa jadi mendapat keunggulan dibanding “the young guns” lainnya karena sistem didikan ala Red Bull ini. Kecuali tentu saja Daniil yang saat ini berada di Toro Rosso.
Keunggulan lain yang dimiliki oleh Dan adalah sikap ramahnya di luar sirkuit, sikap yang bisa memberinya keuntungan terutama ketika berhadapa dengan fans dan media. Namun lagi-lagi Daniil pun sejauh ini menunjukkan sikap yang tak kalah friendly dibanding Dan.
Sejauh ini setidaknya Dan sudah berada di jalur yang tepat, kemenangannya di podium kedua usai seri Rolex Australian Grand Prix mungkin sudah diambil daripadanya. Namun pada saat yang sama Dan bukan hanya sudah menunjukkan kemampuannya di sirkuit namun sekaligus juga di luar sirkuit lewat kedewasaannya dalam menerima keputusan kontroversial tersebut. Fakta bahwa dia berada di tim yang sama dengan juara dunia empat kali Sebastian Vettel adalah faktor menguntungkan lainnya, selain mendapat kesempatan belajar dari salah satu pembalap terbaik Dan juga berkesempatan mendapat sparring partner yang sudah pasti akan memaksanya untuk memaksimalkan semua potensi yang dimiliki.
Berlebihan kah jika publik Australia menaruh harapan tinggi kepadanya? Rasanya tidak, jika ada pembalap Indonesia dengan skill dan potensi setara Daniel Ricciardo tentu kitapun bakal menaruh harapan yang sama tingginya atau bahkan lebih.
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A