Di awal pandemi, sekitar bulan Maret 2020 ketika berbagai aktivitas mulai dihentikan selama dua pekan, kemudian berlanjut karena kondisi ternyata tak membaik saya melihat bahwa kemanusiaan kita tengah diuji.
Manusia selama ini senantiasa bertengkar satu sama lain dipicu oleh berbagai hal.
Perbedaan suku, ras dan etnis jadi pemicu konflik. Perbedaan keyakinan jadi bahan keributan. Perbedaan pandangan politik jadi pertengkaran dan masih ada banyak hal lainnya yang terus menimbulkan konflik tidak produktif.
Sisi spiritual saya seolah mengatakan bahwa Tuhan mendatangkan pandemi ini untuk menguji dan mengembalikan kemanusiaan. Agar kita menghentikan perpecahan lalu bersatu padu untuk mengatasi dan melewati ujian ini bersama.
Setelah banyak hal dan banyak perbedaan membuat manusia gagal untuk saling mengasihi maka Tuhan pun mendatangkan ujian yang semestinya membuat kita semua bersatu.
Kenapa? Karena semua orang tanpa terkecuali apapun pandangan politiknya, apapun keyakinannya, apapun latar belakang etnisnya bahkan dimanapun keberadaannya menghadapi satu ujian yang sama.
Sepanjang hidup saya baru sekali ini mengalami sebuah ujian yang dirasakan bersama-sama. Maka wajar rasanya kalau saat itu saya berpikir akhirnya ada kesulitan yang akan membuat manusia berhenti berkonflik dan mulai membangun jembatan kasih satu sama lain.
Dampak perekonomian yang dirasakan langsung oleh masyarakat membuat orang tergerak hati untuk berbagi dengan sesama.
Indah rasanya, meski di tengah pandemi namun sisi kemanusiaan kita seolah dipulihkan.
Ternyata saya salah…
Saya masih meyakini bahwa pandemi ini adalah ujian dari Tuhan untuk memulihkan kemanusiaan kita.
Tapi saya salah pernah meyakini bahwa akhirnya kemanusiaan akan dipulihkan dan manusia bakal bersatu padu mengatasi kesulitan yang sama.
Di level pemerintahan saling serang karena perbedaan persepsi dalam membuat kebijakan memunculkan konflik.
Pemerintah di level pusat maupun daerah masih mengedepankan kepentingan lain di luar kemanusiaan. Entah ekonomi, entah pencitraan, entah yang lainnya.
Bahkan komunikasi serta informasi keliru tak jarang datangnya dari pihak yang memiliki otoritas.
Persepsi seolah-olah imunitas tubuh jadi solusi pengendalian wabah pertama kali didengungkan oleh pemerintah.
Pembukaan kembali bioskop dikaitkan dengan imunitas tubuh juga dari pemerintah.
Di level Daerah ada Kepala Daerah mengajak masyarakat melakukan diet tertentu lagi-lagi dikaitkan dengan upaya mencegah paparan virus Korona.
Pada level kehidupan masyarakat sehari-hari pun masih terus ada yang mengabaikan protokol.
Masih ada yang meremehkan keseriusan situasi pandemi ini.
Manusia tak mampu menahan hawa nafsu dengan menunda hal-hal yang sebenarnya bisa ditunda.
Banyak yang lelah dan berharap pandemi berlalu tapi berkontribusi secara nyata serta mudah dengan pakai masker, jaga jarak, CTPS di air mengalir pun tidak sanggup.
Kakek-nenek saya dulu berjuang melawan penjajah. Generasi kita hanya diminta untuk pakai masker, jaga jarak, CTPS di air mengalir saja sudah keok bayangkan kalau harus menghadapi kekejaman penjajah.
Tak cukup sampai di situ masih ada saja yang tidak percaya bahwa pandemi ini nyata.
Melepaskan tanggung jawab pribadi lalu dengan motivasi keliru berlindung di balik iman.
Membenturkan antara iman dan akal budi, seolah menyangkal keduanya harus senantiasa berimbang bak sayap kanan dan kiri.
Kesemuanya itu kembali memunculkan konflik.
Manusia telah gagal menjalani ujian sekali lagi.
Bahkan di kala secara nyata cepat tidaknya ujian (pandemi) ini berlalu benar-benar ditentukan oleh kemauan setiap manusia untuk berperan serta ternyata kita masih juga gagal.
Wajarlah kalau selama ini setiap perbedaan jadi sumber konflik, sebab ujian yang dialami bersama pun tak mampu dihadapi bersama.
Jadi apa yang saya pelajari dari pandemi ini?
Fakta bahwa manusia telah gagal menjadi manusia!
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A