Hari Komunikasi Sedunia XLV 2011 jatuh pada hari Minggu 5 Juni 2011. Paus Benediktus XVI pada pesannya kembali menekankan pesan yang pernah juga beliau sampaikan dalam Hari Kaum Muda sedunia, yaitu agar kaum muda utamanya sungguh-sungguh hadir secara berdaya guna di dunia digital.
Miris memang bahwa perkembangan teknologi komunikasi digital utamanya internet yang sedemikian pesat dan pada satu sisi memberikan akses yang lebih luas kepada setiap individu untuk menerima dan menyampaikan informasi namun pada sisi lain juga meningkatkan berbagai perilaku yang tidak bertanggung jawab.
Di negara kita sendiri misalnya, belakangan ini salah satu topik yang hangat dibicarakan adalah SMS gelap kepada Presiden SBY, blog dan akun twitter yang mengaku sebagai Nazaruddin dimana kesemuanya itu tidak ada kejelasan mengenai pengirim maupun kebenaran isinya. Bukan hanya itu saja, pada level lain bisa kita lihat bagaimana seseorang bisa dengan mudah menyampaikan berita dan opini yang belum jelas dasarnya melalui media internet entah berupa blog mauupun jejaring sosial sekedar untuk menjaring traffic tanpa ada pertimbangan moral mengenai dampaknya bagi masyarakat luas.
Saya sendiri prihatin ketika membaca portal-portal berita, meski membawa nama besar ‘brand’-nya namun banyak berita-berita yang disampaikan berkesan sekedar mencari sensasi tanpa memperhatikan kemanfaatannya serta memungkinkan timbulnya opini dan persepsi bebas dari pembaca. Tak ada yang salah dengan opini dan persepsi bebas hanya saja ketika sebuah opini dan persepsi tidak terlebih dahulu melalui proses pengumpulan informasi dan analisa yang memadai maka nilai moralnya perlu dipertanyakan. Secara kasar saya sering menyebut bahwa media-media semacam ini ibarat membongkar tempat sampah orang lain, mengais sisa-sisa kotoran di dalamnya dan menyatukannya bak puzzle yang bisa jadi potongan tersebut bukan berasal dari lembaran yang sama, kemudian menyatukannya di atas kertas yang rapi dan berlaminating dan menyuguhkannya kepada pembaca semata-mata demi oplah, trafik atau popularitas.
Tak kalah prihatinnya saya melihat bagaimana masyarakat kita begitu mudahnya berkomentar pada berita-berita di portal tersebut, kental sekali kesan ‘asbun’ atau sekedar numpang populer.
Saya menangkap kesan bahwa sejak mulainya era reformasi dimana kebebasan individu untuk berpendapat lebih dihargai banyak orang yang bersikap kritis terhadap berbagai permasalahan. Namun seperti yang selalu juga saya katakan dalam berbagai kesempatan bahwa sikap kritis tersebut seringkali tak diikuti kemauan dan kemampuan yang memadai untuk mengumpulkan informasi dan menganalisanya sebelum sampai pada sebuah pendapat, kesimpulan, penilaian dan pernyataan sikap.
Karenanya ketika orang begitu gencar mengatakan “Marilah kita bersikap kritis” atau “Sudah saatnya kita bersikap kritis” saya justru mengajak “Marilah kita bersikap analitis”. Bagi saya masyarakat kita sudah terlatih bersikap kritis sejak runtuhnya orde baru, tapi hanya sepersekian persen yang analitis. Janganlah kita mudah melontarkan komentar, pernyataan, penilaian atau apapun itu sebelum kita sungguh-sungguh yakin bahwa pendapat kita sudah melalui proses pengumpulan informasi dan analisa yang memadai.
Itu sebabnya saya menutup kotak komentar pada blog ini. Secara pribadi saya ingin mengajak pembaca blog ini agar selesai membaca sebuah tulisan tidak lantas berkomentar namun memperkaya informasi serupa di tempat lain, merenungkan, menganalisa dan jika merasa perlu berpendapat silakan membuat artikel sendiri terkait topik tersebut. Dengan cara itu setidaknya ada proses yang lebih baik sebelum seseorang berkomentar atas suatu topik. Pengalaman saya, ketika seseorang buru-buru berkomentar maka biasanya belum ada proses yang memadai untuk menjadi kesimpulan, ketika kemudian yang bersangkutan mendapat informasi di tempat lain pikirannya cenderung sudah tertutup oleh persepsinya sehingga informasi lain hanya sekedar diambil bagian-bagian yang bisa mendukung persepsinya atau ditolak mentah-mentah jika memang tidak ada yang bisa menguatkan persepsinya.
Bapa Suci Benediktus XVI dalam pesannya juga mengingatkan:
“…, kita harus menyadari bahwa kebenaran yang ingin kita bagikan bukan berasal dari nilai popularitas-nya atau jumlah perhatian yang diterima.”
Sikap kritis lekat dengan popularitas, namun untuk membagikan kebenaran perlu proses lebih lanjut yang bahkan sebenarnya belum juga menjamin bahwa hal tersebut adalah benar.
Contents
Blog Sehat dan Bertanggung Jawab
Bagi kita penulis blog baik blog yang dimiliki pribadi maupun pemilik akun pada portal-portal tertentu. Baik yang tujuannya personal, beropini maupun komersial. Marilah kita membudayakan blog yang sehat, bertanggung jawab, beretika dan bermoral. Jangan hanya sekedar berburu trafik namun menyajikan berita-berita yang tidak jelas, opini-opini yang menghasut ataupun konten yang tidak berkualitas lainnya.
Meski ini adalah dunia maya bukan berarti harus menjadi “surga anarki”. Saya sendiri sedapat mungkin menghindarkan tulisan-tulisan yang bernada menghasut. Hampir seluruh tulisan di blog ini tidak dibuat berdasar pada topik-topik yang sedang menjadi “hot trend” untuk sekedar menjaring traffic. Tulisan di sini dimaksudkan sebagai sarana berbagi pendapat dan pemikiran yang menurut kami adalah baik untuk dibagikan. Terlepas apakah kemudian pembaca akan setuju atau tidak tentulah kembali pada “believe system” yang dimiliki masing-masing individu. Namun dengan berbagi setidaknya pembaca akan diperkaya dengan informasi dan (mungkin) sudut pandang yang berbeda sebelum membuat kesimpulan atau berpersepsi.
Kami berdua tidak pernah mengejar traffic yang tinggi dalam blog ini. Sebuah tulisan dibuat karena kami ingin menulisnya dan mungkin akan bermanfaat bagi orang lain. Bahwa kemudian akan dibaca atau tidak bukan persoalan, karena kami menulis pertama-tama oleh dorongan keinginan untuk menulis itu sendiri.
Coba Anda tengok ketika mengetikan kata kunci di Google Indonesia betapa banyak hasil search engine di halaman muka yang hanya merupakan situs autoblog tanpa makna dan tak memberi pengetahuan yang dibutuhkan. Karenanya saya sering heran ketika Menkominfo Kabinet Indonesia Bersatu II ini berulang-ulang hanya menekankan pembasmian situs porno. Dalam hati saya selalu berkata “Pak…pak…. jangan cuma itu melulu… masih banyak hal lain yang juga perlu diurus.”
Pesan Bapa Suci dalam rangka Hari Komunikasi Sedunia XLV tidak secara tersurat menyebutkan pewartaan, namun tentu menjadi bagian di dalamnya.
“Orang beriman yang memberikan kesaksian iman yang sungguh mendalam tentu memberikan bantuan yang berharga bagi internet agar tidak menjadi sarana yang memerosotkan kepribadian manusia, memanipulasi secara emosional, dan yang memberikan kemungkinan kepada yang berkuasa untuk memonopoli pendapat orang lain. Sebaliknya, orang beriman mendorong setiap orang untuk terus menghidupkan pertanyaan manusiawi yang abadi sebagai ungkapan kerinduan akan sesuatu yang trasenden dan dambaan akan bentuk-bentuk yang otentik dari kehidupan yang patut untuk dihayati. Justru hasrat rohani yang unik manusiawi inilah yang mengilhami upaya kita untuk mencari kebenaran dan persekutuan dan mendesak kita untuk berkomunikasi dengan keutuhan dan kejujuran.”
Beberapa tulisan dalam blog ini utamanya pada kategori “Refleksi” dan “Renungan” di antaranya merupakan pengalaman iman kami secara pribadi maupun bersama (berdua) mengenai hal-hal atau kejadian-kejadian yang kami alami dan karenanya (oleh kejadian tersebut) iman kami diuji. Kami menulisnya sebagai sebuah pelajaran bagi kami yang mungkin penting untuk kami ingat lagi dikemudian hari, dan baik pula rasanya dibagikan jika bisa berguna bagi orang lain.
Pada kategori ‘Faith’ hingga saat ini adalah tulisan saya. Hingga saat ini pula 100% dari tulisan ini dibuat ketika saya memiliki pertanyaan mengenai hal-hal tertentu atau ingin memperdalam pengetahuan agama saya pada topik-topik tertentu. Setelah menemukan sumber-sumber yang kredibel kemudian saya membuat catatan untuk saya pribadi, kemudian saya upload jika memang rasanya akan berguna bagi sesama yang membutuhkan informasi tersebut.
Pantang bagi kami untuk menulis hal-hal yang berkait dengan iman dengan tujuan memengaruhi orang lain untuk berpindah keyakinan. Saya secara pribadi beranggapan bahwa itu mustahil, tanpa mengurangi niat melakukan tugas pewartaan saya selalu berkeyakinan bahwa seseorang hanya menerima Sang Juru Selamat jika Roh Kudus tinggal di dalam dirinya. Tanpa itu adalah mustahil! Karenanya tulisan-tulisan saya yakin tak akan membuat seseorang berpindah keyakinan apalagi jika tulisan itu menjelek-jelekkan agama lain. Justru bagi saya tulisan yang berkait dengan iman jika dibagikan lebih ditujukan untuk mereka yang seiman dengan saya yang hendak memperdalam imannya dari literatur tertentu atau pengalaman iman sesama.
Pewartaan yang baik dalam pandangan saya adalah melalui sikap hidup dan perbuatan. Sebab kata-kata, tulisan apalagi kekerasan selamanya tidak akan menjadi jalan yang mencapai tujuan. Dan lebih dari semuanya itu agama saya tidak mengajarkan cara-cara menghasut ataupun kekerasan dalam pewartaan.
Bahkan tak perlu membandingkan atau mempertanyakan pandangan agama lain terhadap suatu hal yang kami atau mereka yakini. Bagi saya orang yang sungguh-sungguh beriman secara otomatis akan lebih memilih memperdalam keyakinannya ketimbang mempertanyakan keyakinan orang lain. Kecuali tentu saja jika yang bersangkutan meragukan imannya sendiri.
Situs Jejaring Sosial: Menjadi Bagian Jatidiri yang Utuh
FaceBook, Twitter, Linkedin dan situs jejaring sosial lainnya kini semakin mudah untuk diakses. Bahkan ponsel-ponsel terbaru sudah menyediakan software yang semakin memudahkan pengguna untuk mengakses situs jejaring sosial.
Sama halnya dengan media lain, kita diajak untuk bertanggung jawab dalam menggunakannya. Tanggung jawab bisa dikaitkan dengan banyak hal; identitas, tujuan dan kemanfaatan maupun penggunaannya.
Banyak orang yang membuat akun-akun palsu sekedar untuk menebarkan isu dan status yang tak bertanggung jawab. Dan masyarakat memang masih gemar dengan hal-hal yang berbau sensasional, bombastis dan heboh. Tak heran akun-akun Twitter yang pemiliknya saja tidak jelas bisa mendapatkan ribuan follower hanya karena membagikan status-status yang menghebohkan, konspiratif meski kebenarannya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Bagaimana bisa dipertanggung jawabkan jika pemilik akunnya saja tidak jelas.
Pemilik akun yang jelas pun bisa jadi tidak bertanggung jawab jika penggunaannya tidak bertanggung jawab. Coba tengok berapa banyak teman Anda di FaceBook yang statusnya hanya berisi keluhan atau hujatan? Apa memang tujuannya membuka akun FaceBook atau Twitter hanya sekedar melempar keluh kesah agar mendapat simpati? Atau sekedar cari sensasi? Herannya justru status-status semacam ini seringkali mendapat lebih banyak comment ketimbang status yang lain. Inikah gambaran masyarakat kita? Saya sendiri biasanya terhadap orang-orang semacam ini memilih opsi agar status yang bersangkutan tidak terlihat di beranda saya. Kalau perlu bahkan di remove dari daftar teman.
Sadarkah orang-orang semacam ini bahwa dirinya hanya sekedar menebarkan “hawa negatif” kepada orang lain? Mungkin orang terbawa oleh keluh kesahnya, mungkin juga tidak terbawa namun kesal melihat status seorang “pengeluh”. Rasanya tidak ada orang normal di dunia ini yang merasa nyaman dengan jenis “pengeluh”. Namun bagi saya, yang paling bijak tentunya adalah mereka yang mampu mengacuhkan orang-orang semacam ini.
Tentulah sebagai manusia kita terkadang lepas kendali, rasanya hampir tak ada teman FB dan Twitter saya yang sama sekali tidak pernah menulis status marah atau mengeluh. Kecuali yang memang akunnya khusus untuk berjualan :D . Secara pribadi saya mentolerir keluhan dan luapan kemarahan sepanjang tidak lebih dari 2% rata-rata update statusnya.
Perilaku-perilaku “menyimpang” dan tidak menjadi diri sendiri juga merupakan perilaku yang tidak bertanggung jawab. Karenanya Bapa Suci dalam pesan Hari Komunikasi Sedunia XLV 2011 juga mengingatkan agar keterlibatan kita dalam situs jejaring sosial jangan hanya sekedar memuaskan keinginan untuk hadir dalam jejaring sosial, namun kita hadir sebagai bagian yang utuh. Ini berarti juga agar kita tidak menjadi “orang lain” di dunia maya namun tetaplah menjadi diri kita apa adanya.
Diri kita apa adanya tidak berarti yang banyak bicara jarang update status atau yang pendiam banyak menulis catatan sama halnya dengan tidak menjadi diri sendiri. Sebab tak sedikit orang yang banyak bicara memang tidak tertarik menulis. Sebaliknya orang yang pendiam seringkali justru merasa terpuaskan dengan menulis. Namun perbandingan karakter inti seseorang di dunia maya dan dunia nyata akan menunjukkan apakah di dunia maya adalah dirinya yang sebenarnya atau bukan.
Closing
Jadi jangan salahkan media blog ataupun jejaring sosialnya jika kemudian hadir perilaku negatif, namun salah para pengguna dan pembacanya-lah jika sampai hal itu terjadi. Permasalahan moral di dunia maya jauh lebih besar daripada pornografi saja.
Kita patut mempertanyakan pada diri sendiri; apakah kehadiran kita di dunia maya memberikan manfaat bagi sesama atau justru sebaliknya? Apakah kehadiran kita membuka kesempatan perubahan yang lebih baik atau sebaliknya? Apakah kehadiran kita membawa damai sejahtera atau justru menebar kebencian dan ketakutan? Jika memang kehadiran kita justru membawa dampak negatif maka sudah saatnya kita memperbaiki diri atau bahkan menghilang sama sekali dari dunia digital.
Hal terakhir yang patut kita ingat bahwa pengadilan-Nya tak mengenal di dunia mana kita berbuat. Semua perbuatan kita termasuk menghakimi orang lain dan bersikap tidak adil karena mengambil sikap tanpa mengumpulkan cukup fakta dan analisa kesemuanya harus kita pertanggung jawabkan di hadapan-Nya nanti. Maka marilah kita dalam Hari Komunikasi Sedunia XLV 2011 ini memperbaiki perilaku kita di dunia maya khususnya dan dimana saja kita berada, sehingga keberadaan kita dimanapun itu sungguh-sungguh menjadi “terang” bagi dunia. (Satrio)
Pesan Bapa Suci Benediktus XVI dalam rangka Hari Komunikasi Sedunia XLV 2011 bisa dilihat di situs resmi Vatican, salah satu terjemahannya ada di situs Gereja St. Theresia.
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A