Krisis yang melanda AS dan Eropa mulai dikhawatirkan imbasnya terhadap negara-negara lain. Terlebih setelah beberapa pengamat memprediksi bahwa pada tahun 2012 bahwa pertumbuhan ekonomi Singapura akan melambat sebagai dampak dari krisis di AS dan Eropa tentu banyak negara lain di Asia Tengara yang was-was.

Bagi para pelaku usaha masih terbayang betapa lesunya iklim usaha pada masa krisis tahun 1997 lalu. Kala itu banyak usaha yang harus menekan harga jual sekedar untuk bertahan.

Terlepas apakah krisis kali ini akan membawa dampak signifikan bagi kondisi di negara lain termasuk Indonesia, menekan harga sebagai reaksi menurunnya tingkat pendapatan masyarakat sesungguhnya bukan merupakan langkah yang cerdas.

Pelaku usaha utamanya para retailer sering kurang menyadari bahwa jumlah konsumen berpendidikan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meski tingkat pendidikan tidak selamanya berkorelasi dengan tingkat pendapatan namun korelasi antara tingkat pendidikan dengan perilaku konsumen sangatlah erat.

Konsumen berpendidikan relatif cerdas dalam melakukan analisa sebelum membuat sebuah keputusan beli layaknya seorang Chief Financial Officer. Mereka menimbang dengan seksama rasio antara manfaat yang bakal diterima dengan jumlah uang yang harus dikeluarkan.

Konsumen mulai bisa melihat nilai/value dari sebuah produk secara utuh dan memprediksi bagaimana kinerja produk itu nantinya dalam memberi manfaat bagi mereka. Kenyataan ini semakin membuktikan bahwa penentuan pricing antara bundling dan a la charte yang sekedar dilatarbelakangi oleh alasan tranparansi tidak lagi relevan.

Terlebih untuk produk-produk yang memiliki investasi (memiliki nilai investasi ≠ produk investasi) konsumen semakin tidak sensitif terhadap kenaikan harga. Produk pencukur pria misalnya meski dibarengi inovasi namun kenaikan harga dari waktu ke waktu lebih tinggi ketimbang nilai inovasi yang ditawarkan. Meski demikian pada faktanya permintaan terhadap produk tersebut terus meningkat.

Selain alat pencukur yang permintaannya terus naik adalah produk perawatan pria. Meski menilai dari iklan produk-produk tersebut orang berpikir bahwa meningkatnya permintaan atas produk tersebut dilatarbelakangi motivasi pria untuk menarik perhatian lawan jenis namun faktanya tidak demikian.

Meningkatkan konsumsi pria atas produk-produk perawatan lebih banyak dilatarbelakangi oleh keyakinan bahwa perawatan diri berkorelasi terhadap peningkatan karir seseorang. Dengan demikian konsumesi terhadap produk pencukur dan perawatan tersebut dilihat sebagai sebuah investasi.

Selain produk perawatan dan alat pencukur masih banyak lagi contoh dimana konsumen secara jeli melihat total value dari suatu produk dan manfaat bagi dirinya lebih dari sekedar pertimbangan terhadap harga yang ditawarkan.

Lalu apa implikasi dari fenomena ini? Fakta ini bisa menjadi pembelajaran bagi para pelaku usaha utamanya retailer. Dengan mengindentifikasi nilai yang dianggap penting oleh konsumen tentu akan lebih mudah bagi retailer dalam menyusun taktik pemasaran yang tepat lebih dari sekedar memainkan variabel harga saja.

Menurunkan harga pada akhirnya hanya akan membawa retailer bermain di price-sensitive segment. Price-sensitive segment bukan mereka yang berpendapatan rendah namun umumnya adalah mereka yang berpendidikan rendah. Sekalipun berpendapatan tinggi namun konsumen yang kurang berpendidikan cenderung resisten terhadap kenaikan harga karena kemampuannya dalam menganalisa value dari sebuah produk sangat terbatas. Sebaliknya konsumen berpendidikan tinggi sekalipun pendapatannya rendah lebih cerdas dalam melakukan analisa sebagai bagian dari sebuah proses keputusan beli.

Tentu dengan taktik pemasaran yang telah disesuaikan dengan karakteristik konsumen, retailer bisa terbebas dari pilihan menyasar segmen price-sensitive yang cenderung tidak loyal dan tak banyak memberi kontribusi bagi keberlangsungan usaha.