Minggu 16 Juni 2013 kemarin kami kembali diundang oleh keluarga Wiggs untuk makan siang di kediaman mereka.
Sama seperti ketika kami diundang saat Natal kemarin, suasana akrab dan kekeluargaan terasa sangat hangat bersama mereka siang itu.

Seperti biasa pula menghabiskan waktu dengan mereka bukan hanya menyenangkan dan tanpa tendensi namun banyak hal yang bisa kami pelajari dari mereka.

Pelajaran pertama kami dapat dari keluarga Katherine. Mereka datang lebih lambat dari kami jadi ketika mereka datang kami sedang asyik mengobrol, dan itu adalah pertemuan pertama kami dengan keluarganya.

Scott, anak pertamanya yang berusia tujuh tahun juga belum pernah bertemu kami. Dia tampak malu-malu sehingga begitu masuk rumah langsung bersembunyi di dapur. Melihat situasi ini kedua orang tuanya tidak lantas memaksa anaknya untuk keluar dan berkenalan dan tidak pula meminta maaf kepada kami (memang tidak ada yang perlu dimaafkan saya pikir).

Perlahan seiring dengan berjalannya waktu Scott kelihatan mulai bisa mengedalikan rasa malunya dan ia pun bergabung dengan kami semua. Setelah menyesuaikan diri dia bahkan tampak sangat percaya diri dan beberapa kali menghampiri kami berdua untuk bercerita panjang lebar tentang berbagai hal. Dia bahkan mengikuti istri dan anak saya kemanapun mereka pergi sepanjang siang itu sambil terus mengobrol.

Di Indonesia atau setidaknya dari orang-orang yang saya kenal di Indonesia dalam situasi serupa umumnya orang tua akan memaksa anaknya untuk keluar dan berkenalan dengan tamunya. Atau jika anak tersebut tetap menolak orang tua akan meminta maaf kepada sang tamu.

Bukan tindakan bijak menurut saya, sebab anak adalah manusia yang punya perasaan dan punya harga diri. Tak seorangpun berhak merasa perlu mengendalikan perasaan orang lain atau mewakili dirinya sekalipun usianya masih anak-anak.

Kadang malah orang tua tampak gengsi atau malu ketika anaknya merasa malu atau tidak percaya diri. Sikap tersebut bukan sikap konstruktif namun justru destruktif. Masalahnya kebanyakan orang tua memandang anak sebagai obyek untuk dibanggakan, ketika obyek tersebut tidak membanggakan maka lantas muncul perasaan harus memperbaiki si obyek supaya bekerja sesuai keinginannya.

Sulit mungkin mengubah pola pikir yang menjadikan anak sebagai “obyek” atau “alat” bagi orang tuanya jika memang pandangan tersebut sudah mendarah daging dan turun temurun.

Harus diakui bahwa di sini (Australia) anak lebih dihargai, contoh lain yang sering saya lihat adalah manakala orang dewasa secara tidak sengaja menabrak anak yang sedang bersama orang tuanya, si penabrak itu lalu meminta maaf. Dan orang tua si anak tidak lantas memaafkan begitu saja namun terlebih dahulu bertanya pada si anak: “Are you alright?” Jika anak sudah bilang tidak apa-apa baru si orang tua si anak itu menjawab “It’s alright!”

Sementara rata-rata orang tua di Indonesia jika diperhadapkan kepada situasi serupa umumnya akan seketika menjawab “ngga apa-apa” tanpa bertanya dulu kepada si anakl yang sebenarnya lebih berhak memberi jawaban.

Bahagia

Minggu lalu. Peter dan Carole baru saja kembali dari perjalanan selama kurang lebih enam minggu di Eropa. Dalam sebuah kunjungan ke Eropa itu pula Carole menghabiskan waktu bersama teman lamanya untuk berjalan kaki ratusan kilometer.

Peter saat ini berusia 64 tahun sementara Carole 70 tahun, keduanya masih sangat sehat dan bersemangat. Padahal banyak orang yang jauh lebih muda dari mereka berdua sudah nampak loyo, banyak mengeluh dan bahkan setiap obrolan hanya diisi tentang keluhan soal hidupnya, soal kesehatan dan lain sebagainya. Seolah tak ada topik lain yang bisa dijadikan bahan pembicaraan selain mengeluh.

Sebaliknya baik baru-baru ini maupun ketika pertama kali saya bertemu keduanya sekitar lima belas tahun yang lalu mereka berdua selalu nampak bersemangat. Memang kelihatan dari fisiknya bahwa mereka jauh lebih tua dari lima belas tahun yang lalu, namun keceriaan dan semangatnya tidak berubah. Bahkan setelah keduanya pensiun mereka bukan hanya ceria dan penih semangat namun juga tampak lebih rileks.

Sebelum berpisah istri saya sempat menanyakan kepada Carole apa rahasia mereka hingga dalam usia mereka yang sudah terbilang tua ini masih tetap sehat dan bersemangat? Apakah itu berhubungan dengan diet?

Carole yang pensiunan dokter menjawab bahwa mereka tidak punya rahasia khusus, mereka juga tidak pernah menghindari makanan-makanan tertentu. Apa yang mereka suka tentu mereka makan, asalkan semuanya tidak berlebihan.

Kemudian ketika saya melanjutkan pertanyaan olah raga apa yang mereka lakukan, mereka pun menjawab mereka tidak pernah berolah raga hanya sering-sering berjalan kaki. Dan berjalan kaki bagi orang Australia adalah hal biasa yang dilakukan sehari-hari, tidak seperti orang Indonesia yang kemana-mana lebih suka naik kendaraan. Jadi berjalan kaki rasanya juga bukan rahasia mereka tetap sehat dan bersemangat di usia lanjut.

Carole pada akhirnya berkata bahwa tidak ada rahasia tertentu yang menjadikan mereka tetap demikian di usia tua.
“Just be happy and everything else will follow”, begitu katanya kepada kami. Nasihat sederhana, namun setelah hidup selama tiga puluh empat tahun ini saya pikir nasihat tersebut sangat masuk akal.
Hidup memang tidak selalu mudah, tidak selalu berjalan sesuai yang kita inginkan. Namun bahagia atau tidak adalah pilihan kita sendiri pada akhirnya.