Pertanyaan umum dari teman-teman setelah beberapa waktu saya beberapa waktu membagikan pandangan terhadap hal-hal yang terjadi di Negara ini adalah: “Apa motivasi membagikannya?”

Well, begini… belajar dari apa yang terjadi di Pemilu 2024 kemarin (baik Pilpres maupun Pilkada) saya baru menyadari fenomena bahwa kesadaran berpolitik tidak dimilki oleh sebagian besar Warga Negara ini.

Sikap acuh tersebut sayangnya kemudian dikapitalisasi oleh para politikus culas untuk melakukan berbagai manuver adu domba, pembiasan sejarah dan propaganda lain semata-mata agar rakyat terus disibukkan dengan isu sintetis hingga konflik horizontal.

Berpikir Kritis
Pentingnya Berpikir Kritis Demi Menjaga Demokrasi

Kenapa demikian? Sebab sementara rakyat sibuk dengan isu sintetis atau asyik ber-konflik satu sama lain para politikus culas ini dengan enaknya menikmati dan berbagi Sumber Daya yang dimiliki oleh Negara.
Isu utama yang membangkitkan keprihatinan saya adalah:

I. Sikap Acuh Warga Negara terhadap Politik

Politik sekedar dipandang sebagai mainannya para politikus yang tak bakal mengubah kondisi hidup pribadi.

Padahal kalau kita belajar dari beberapa kebijakan seperti UU Ciptaker (yang tidak berpihak pada tenaga kerja), kebijakan distribusi gas melon, tipu-tipu soal Pertamax, kenaikan PPN, pemotongan anggaran secara barbar atau ketidakjelasan nasib CASN 2024 saja kita bisa lihat bagaimana kebijakan-kebijakan tersebut berdampak langsung pada kehidupan kita secara pribadi.
Kebijakan-kebijakan kontroversial tersebut muncul karena faktor abainya Warga Negara yang dimanfaatkan oleh politikus culas maupun politikus inkompeten.

Dalam sebuah organisasi bernama Negara, kita (Rakyat) itu bertindak sebagai shareholders atau Pemegang Saham. Sementara para politikus yang kita tunjuk memanajemen Negara ini adalah para eksekutif.

Kenapa analoginya seperti di atas (shareholders & eksekutif)? Sebab dalam Negara Demokrasi memang Rakyat itu adalah pemilik kedaulatan tertinggi, lalu sebagai peilik kedaulatan itu kemudian rakyat menyerahkan sedikit dari kedaulatan yang dimilikinya itu kepada Pemerintah untuk mengelola Negara.

Adakah sebuah organisasi yang shareholders lepas tangan dan malah seolah diwajibkan memberi berbagai privilege kepada eksekutif?

Nah di sini perpaduan antara feodalisme dan sikap acuh memainkan peran yang menguntungkan para politikus picik tersebut.

II. Pembiasan Sejarah

History is written by the victors atau sejarah selalu dituliskan oleh para pemenang. Ungkapan itu tidaklah asing bagi kebanyakan dari kita. Tapi siapa yang pernah sungguh-sungguh menghayati maknanya?

Ungkapan tersebut bermaksud menunjukkan bahwa sejarah sarat akan unsur subjektif, tergantung siapa yang sedang menjadi penguasa maka ia akan relatif bebas menginterpretasikan dan mempropagandakan sejarah.
Sayangnya banyak dari kita yang melihat sejarah sebagai sebuah fakta mutlak. Atau lebih parah lagi penganut konspirasi memilih percaya pada interpretasi sejarah yang “nyleneh”.

Di Indonesia sendiri kita mengenal beberapa peristiwa bersejarah yang menjadi tonggak selain peristiwa Kemerdekaan.
Sebut saja peristiwa G30S/PKI yang kemudian melahirkan Orde Baru dan Peristiwa ’98 yang melahirkan Masa Reformasi.

Di luar keduanya tentu masih banyak peristiwa lain, tapi kali ini saya akan mengfokuskan pada dua peristiwa itu saja.

a. PKI & G30S

G30S/PKI sampai sekarang masih gelap, terlalu banyak teka-teki yang menjadikannya susah untuk dipegang kebenaran masing-masing versi sejarah.

Ketika peristiwa itu terjadi saya belum lahir, tapi setelah membaca berbagai Pustaka sejauh ini saya membuat kesimpulan sementara:

1. PKI Tidak Seburuk yang Kita Duga

Well, don’t get me wrong! Tentu sebagai orang beriman saya mengutuk komunisme. Tapi yang saya maksud: benarkah PKI melakukan semua kejahatan yang dituduhkan? I don’t think so.

Atau ada propaganda yang menyalahkan PKI sebagai satu-satunya dalang berbagai kejahatan dan kondisi buruk yang terjadi saat itu?

Pastinya sampai hari ini PKI sekedar dijadikan “jualan ketakutan” tanpa niat dari Pemerintah (periode manapun) untuk membuka tabirnya.

2. Pemerintah Tak Sebaik yang Kita Duga

Para pelaku sejarah yang kemudian menjelma dalam wujud Pemerintah Orde Baru punya andil dosa dalam berbagai peristiwa di tahun ‘60an.

Sebut saja propaganda terhadap banyak orang yang menjadi korban kebrutalan karena dituduh terlibat PKI.
Belum lagi perlakuan diskiminatif terhadap para keturunan dari orang-orang yang dituduh terlibat PKI.

Apakah mereka benar-benar PKI? Atau hanya sekedar lawan kepentingan penguasa?

b. Orde Baru & Reformasi ‘98

Ketika Reformasi ’98 terjadi saya berusia 19 tahun, saya pikir saya cukup dewasa untuk memahaminya dan cukup punya pengalaman hidup di masa Orde Baru.

Berdasar telaah dari pengalaman pribadi dan studi Pustaka maka cukup fair rasanya kalau saya simpulkan Orde Baru itu busuk dan sama sekali bukan role model untuk menunjukkan masa keemasan Indonesia.
Saya tak menampik dua pencapaian Orde Baru: stabilitas ekonomi dan stabilitas politik.
Tapi pencapaian itu tak menutup fakta bahwa Pemerintah Orba itu korup dan stabilitasnya dicapai dengan cara yang tak terpuji.

Sebagai seorang Katolik, iman saya mengajarkan bahwa tujuan baik harus dicapai lewat niat baik dan cara yang baik pula.
Orde Baru (Orba) tidak memenuhi unsur-unsur tersebut.

Stabilitas Politik dicapai dengan cara menekan, mengintimidasi bahkan melakukan persekusi terhadap siapapun yang berseberangan dengan Pemerintah.

Sementara stabilitas ekonomi dicapai sebagai imbas dari stabilitas politik (dengan cara tak terpuji).
Bagi Anda yang berpikir bahwa cara kotor mencapai stabilitas politik yang berujung pula pada stabilitas ekonomi worth to try, tolong renungkan bagaimana kalau yang jadi korban dalam cara-cara mencapai stabilitas politik itu adalah Anda atau keluarga Anda? Masih berpikir sepadan?

Kalau tanah atau usaha Anda/keluarga tetiba dirampas lalu Anda/keluarga dikriminilisasi, apakah itu sepadan? Anda yang berpikir sepadan itu semata-mata karena belum jadi korban dan tidak dididik untuk punya empati.
Ingat: berseberangan kepentingan itu tidak selalu berseberangan secara politik, tapi kerap kali justru penyebabnya adalah kepentingan ekonomi.

Jangan lupa bahwa mereka-mereka yang dieksekusi karena dituduh komunis di masa itu tidak semuanya berseberangan secara politik. Malahan tak sedikit yang sekedar mempertahankan harta miliknya dari rampasan penguasa lalu dipersekusi dan dituduh komunis. Kasus TMII dan Kedungombo adalah dua dari sekian banyak contohnya.

Sayangnya memang kita belum pernah mencapai stabilitas yang lebih baik dari Orde Baru, maka tak heran ada orang-orang tertentu yang tutup mata terhadap kebusukannya bahkan cenderung meromantisasi. Apakah yang salah Demokrasi-nya? Bukan! Yang salah adalah pelakunya (pemimpin) yang berjiwa korup di era pasca Orde Baru.

Bagaimana dengan korupsi di era Orde Baru?
Pemerintah Orba itu korup, bahkan mungkin layak disebut sebagai “Mbah-nya budaya korupsi di Indonesia”.
Kalau politikus masa ini mengelu-elukan Orba itu semata karena mudah bagi mereka menguasai aset dan Sumber Daya Negara manakala Rakyat ditekan dan diintimidasi ketimbang bersuara.
Kalau politikus masa ini bilang Sipil itu korup sementara Militer tidak korup dengan mengambil contoh Orba itu adalah pikiran yang sesat.

Sebab jaman Orba itu korup, bedanya ketika itu korupsi disentralisasi dan diijinkan dengan batas kuota tertentu ditambah informasi bagi masyarakat dibatasi.

Sementara di jaman setelahnya korupsi tidak tersentralisasi dan nilai korupsinya pun makin menjadi-jadi ketika KPK dilemahkan.

Jadi akar masalahnya bukan Reformasi apalagi Demokrasi melainkan ya korupsi itu sendiri.

Nah pembiasan yang bahkan cenderung menjadi penyesatan sejarah itulah yang membuat generasi muda tak mampu bersikap objektif manakala disuguhi pilihan politikus-politikus culas yang punya rekam jejak suram di masa Orde Baru maupun di tengah kekisruhan yang terjadi di akhir masa Orde tersebut.

Setan pun dibelokkan menjadi pahlawan oleh orang-orang picik dengan memelintir sejarah.
Sejarah yang dipelintir dilengkapi kemampuan bernalar yang tumpul telah membawa Bangsa ini ada di situasi hari ini.

Motivasi Saya

Minimnya kesadaran politik dan pembiasan sejarah yang menjadi modal bagi para politikus culas melakukan propaganda demi syahwat menguasai Aset dan berbagai Sumber Daya Negara demi kepentingan pribadi itulah pemantik bagi saya untuk mulai membagikan opini maupun kajian terhadap masalah-masalah aktual yang sedang dihadapi oleh Bangsa ini.

Kalau dua hal di atas adalah modal politikus culas maka untuk melakukan counter yang dibutuhkan oleh setiap Warga Negara adalah kesadaran politik dan kemampuan bernalar.

Sayang keduanya masih belum dimiliki oleh sebagian besar dari kita. Kita lebih suka dinina-bobokkan dengan berbagai pidato retorika kosong berapi-api manakala berbagai masalah Bangsa tak diidentifikasi dengan baik.
Kita lebih suka mengikuti alur propaganda politikus dan ikut mengecam pikiran kritis ketimbang melatih kemampuan berpikir kritis. Nah itulah niat saya: membangkitkan kesadaran, baik untuk berpikir kritis maupun kesadaran politik.

Kalau memang itu berhasil tentu akan sangat baik bagi Bangsa ini, tapi jika tidak pun setidaknya saya tahu bahwa saya sudah melakukan hal baik bagi Bangsa ini.

Saya yakin kecintaan saya pada Tanah Air ini lebih besar dibanding mereka yang suka berteriak: “NKRI Harga Mati” padahal cuma mau mendemonisasi suara-suara kritis.
Atau yang heboh dengan berbagai selebrasi ketika 17an tapi nuraninya terhadap masalah Bangsa benar-benar buta.