Seorang peneliti dari University of Illinois pada tahun 1970-an melakukan sebuah eksperimen yang bertujuan menemukan solusi bagaimana membuat seorang anak yang tidak suka sayuran pada akhirnya mau memakan sayuran yang tak disukai olehnya.

Umumnya orang akan menjelaskan kepada si anak mengenai betapa besar manfaat sayuran bagi tubuhnya atau menjanjikan imbalan tertentu jika anak tersebut mau menghabiskan sayuran.

Namun Leann Lipps Birch justru menemukan bahwa dengan menempatkan anak tersebut di meja makan bersama anak-anak lain yang suka makan sayuran, menjadikan si anak yang semula tidak menyukai sayuran bersedia makan sayuran.

Eksperimen Birch tersebut membuktikan bahwa perilaku atau nilai-nilai orang lain di sekitar cenderung memengaruhi perilaku dan nilai pada seseorang.

Sebuah organisasi yang core business-nya mengandalkan kompetensi sumber daya manusia, suatu ketika menghadapi permasalahan yang cukup besar. Di dalam organisasi tersebut penuh dengan SDM-SDM berkompetensi tinggi, tingkat kepuasan klien pun cukup tinggi.

Dibanding organisasi lain dalam industri yang sama, organisasi ini memberikan enumerasi yang lebih tinggi dibanding para kompetitor.

Meski demikian tampaknya keberhasilan organisasi dan tingginya tingkat kepuasan klien tidak berbanding lurus dengan tingkat kepuasan karyawannya. Terbukti bahwa dari tahun ke tahun tingkat turn over SDM-nya sangat tinggi.

Banyak lulusan-lulusan terbaik yang melamar di tempat ini, namun hanya beberapa tahun saja mereka bertahan hingga akhirnya memilih pindah ke kompetitor meski hanya dijanjikan gaji yang lebih rendah.

Organisasi ini terkenal dengan pola kerja kerasnya. Di kalangan karyawan beredar cerita bagaimana seorang staf pria diminta menangani kliennya hanya beberapa jam setelah istrinya melahirkan. Atau cerita lain dimana seorang staf wanita harus menangani klien beberapa jam sebelum pemberkatan pernikahannya.

Pemimpin organisasi membenarkan kejadian tersebut. Dia beralasan bahwa masih cukup waktu bagi kedua staf tersebut untuk membagi waktu antara keluarga dengan pekerjaan. Meski di hari yang sama ada peristiwa keluarga yang penting namun organisasi tetap menuntut mereka untuk menyelesaikan pekerjaan.

Tak seorangpun yang pernah mengeluhkan kondisi demikian namun sekali lagi, tingkat perputaran karyawan sangat tinggi.

Inilah yang menjadi tantangan bagi pemimpin organisasi tersebut. Dia ingin agar tingkat perputaran karyawan bisa ditekan tidak seperti kondisi saat ini. Tapi dia tak tahu harus mulai darimana.

Budaya Organisasi

Ubahlah ceritanya….
Ya, sesederhana itu. Meski merubah budaya organisasi seringkali adalah sesuatu yang kompleks namun tak semuanya selalu kompleks hingga membutuhkan seminar atau pelatihan-pelatihan untuk merubah, membentuk atau memperbaikinya.

Dalam kasus ini, selama bertahun-tahun cerita mengenai kejadian yang dialami oleh staf yang harus bekerja beberapa jam setelah istrinya melahirkan atau yang harus bekerja beberapa jam sebelum pemberkatan pernikahan seolah sudah ‘merasuki’ jiwa setiap karyawan dalam organisasi.

Berkaca eksperimen Birch di awal tulisan ini, seseorang cenderung berperilaku menyesuaikan dengan orang-orang di sekitarnya. Karena selama bertahun-tahun cerita mengenai dua kejadian yang dialami dua staf organisasi ini ‘merasuki’ staf lainnya maka secara sadar maupun tidak mereka berusaha untuk menerima dan menyesuaikan diri dengan ‘budaya’ tersebut.

Para karyawan merasa bahwa mereka harus terus bekerja keras dan selalu menomorsatukan pekerjaan di atas segalanya karena ‘contoh’ yang sudah ada.

Kondisi dimana setiap orang mulai menyesuaikan diri dengan sebuah ‘keadaan’ atau ‘tuntutan’ di lingkungan kerja pada akhirnya akan melahirkan budaya organisasi tanpa disengaja. Budaya itu bisa jadi positif dan bisa jadi negatif.

Seringkali ‘budaya’ organisasi yang demikian tidaklah dikehendaki. Namun setiap masalah selalu muncul bersamaan dengan solusinya, kita hanya perlu melihat dari sudut pandang yang tepat saja.

Kondisi yang ada dalam organisasi tersebut jelas bahwa asal muasalnya adalah cerita mengenai pengalaman dua orang staf organisasi. Maka solusinya adalah dengan merubah ‘cerita’.

Jika cerita yang selama ini kuat beredar adalah cerita bagaimana seorang staf harus merelakan moment penting keluarga demi pekerjaan, maka bisa dimulai dengan cerita mengenai pengalaman staf lain yang menghabiskan waktu berlibur ke Kepulauan Karibia setelah mendapat bonus dari perusahaan misalnya.

Tujuannya tidak lain adalah memutus rantai cerita sebelumnya dengan cerita baru yang diharapkan akan mengubah pola perilaku dan nilai setiap individu yang pada akhirnya akan merubah budaya organisasi.

Ada dua hal yang bisa dilakukan:

Pertama, cerita tersebut haruslah dramatis namun mewakili budaya organisasi yang ingin diwujudkan. Biarkan orang bercerita tentangnya.

Kedua, carilah seorang atau dua orang staf dalam organisasi yang pengalamannya mewakili budaya organisasi yang hendak diwujudkan dan ceritakan mengenai pengalaman tersebut pada setiap kesempatan.

Selain melalui cerita, banyak hal-hal kecil yang juga bisa dilakukan untuk merubah atau membentuk budaya organisasi seperti:

Jangan pernah mengkritik tanda baca atau besar-kecil huruf dalam e-mail dan selalu gunakan memo dengan tulisan tangan jika Anda hendak merubah organisasi yang perfeksionis menjadi organisasi yang responsif dan dinamis.

Terapkan aturan untuk tidak membuka laptop, komputer, ponsel atau melakukan hal-hal lain saat berbicara jika Anda ingin membentuk komunikasi yang efektif antar karyawan.

Atau jika Anda hendak membentuk persepsi organisasi Anda adalah organisasi yang menghargai karyawan, berikan hadiah berupa liburan bagi karyawan yang menikah.

Diakui atau tidak, pada dasarnya setiap orang cenderung hidup dari cerita yang didengar. Mereka menceritakan sebuah cerita, mendengarkan cerita, mengulanginya kembali dan pada akhirnya melakukan beberapa hal sesuai cerita yang didengarnya.