Berbicara mengenai personal branding, selain relevansi dan konsistensi ada hal lain yang mutlak diperhatikan yaitu konten dan konteks. Sesuatu bisa dipersepsi secara berbeda apabila dikondisikan pada sebuah keadaan berbeda pula. Itulah sebabnya konten dan konteks menjadi penting.

Apa yang Anda persepsikan mengenai seorang musisi, ketika dirinya bermain dalam sebuah konser yang megah, dengan tata ruangan yang mendukung, tiket masuk mahal dan bahkan mungkin tiket tersebut dijual dalam jumlah terbatas untuk kalangan tertentu.

Bayangkan orang yang sama (musisi yang sama), berpakaian kumal, rambut tidak tersisir dan memainkan musik yang sama di dekat traffic light. Apa persepsi Anda?

Itulah keterkaitan antara konten dan konteks. Musisi sebagaimana disebut di atas adalah konten sementara cara berpakaian maupun tempat dirinya memainkan musik adalah konteks.

photo credit: StreetSmart Marketer

Karenanya dalam personal branding baik konten maupun konteks harus senantiasa saling mendukung secara konsisten.

Pengalaman pribadi saya misalnya, ketika saya disewa oleh klien sebagai brand consultant bagi UKM tentu cara berbicara dan cara berpakaian saya sedapat mungkin disesuaikan. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah agar saya maupun apa yang saya sampaikan bisa diterima dengan baik oleh mereka yang menggunakan jasa saya.

Cara saya melakukan presentasi pun sedapat mungkin disesuaikan dengan latar belakang kepribadian dan pengetahuan pihak klien. Meski yang saya sampaikan secara konten sama namun konteks yang saya bawakan arogan, sok pintar, menggunakan istilah-istilah asing agar kelihatan berpendidikan dan berpengalaman maka hampir pasti konten yang saya sampaikan tidak akan mengena. Bahkan mungkin sudah ada resistensi sebelum saya mulai bicara intinya.

Tentu beda lagi dengan Peter Drucker ketika disewa menjadi konsultan, sebab klien-nya adalah perusahaan multinasional. Tentu situasi yang dihadapi berbeda sehingga konteks-nya pun perlu disesuaikan.

Seberapa penting atau tingginya kualitas konten apabila tidak diimbangi dengan konteks yang sesuai maka efektivitasnya rendah, bahkan seringkali sia-sia. Demikian pula sebaliknya manakalah konteks lebih tinggi ketimbang konten, ekspektasi akan cenderung lebih tinggi ketimbang apa yang diterima. Hasilnya adalah ketidakpuasan.

Jadi kalau Anda adalah kelompok yang berpikir bahwa yang penting kualitas yang ada di dalamnya (entah itu kemampuan berpikir atau kepribadian) bukan penampilannya. Maka Anda sudah meletakkan satu kaki Anda pada sebuah jurang kegagalan. Apa manfaatnya kualitas intelektual Anda jika belum tersampaikan saja orang sudah bersikap resisten?

Sama halnya dengan sebuah produk, bukankah kemasan dan isinya harus saling mendukung? Maukah Anda membeli sebuah Televisi Plasma baru yang dibungkus kertas koran? Atau nasi kucing dalam kotak kaca?

Jujurlah pada diri sendiri, jika Anda seorang pria apakah Anda lebih tertarik pada seorang wanita yang cerdas, murah hati, murah senyum namun tidak pernah mandi? Atau wanita yang cantik, seksi, pintar berdandan tapi tulalit? Tentu yang cantik, seksi, smart murah hati dan murah senyum bukan? Demikian pula jika Anda seorang wanita, bukankah Anda lebih memilih pria dengan kriteria jenis ketiga?

Seindah-indahnya mutiara jika terbungkus dalam (maaf) celana dalam kotor memang tetap mutiara, namun apakah orang masih mau mengambil untuk mengaggumi keindahannya atau memilikinya (kecuali orang yang benar-benar tamak tentunya). Seonggok (maaf lagi) kotoran sekalipun ditempatkan dalam kotak marmer tetaplah (maaf lagi untuk yang ketiga kalinya) kotoran meski kotaknya indah.

Tentu bahwa konten dan konteks sekali lagi tidak dapat dipisahkan dari relevansi. Relevansi yang dmaksud adalah keterkaitan Anda dengan pihak-pihak dimana Anda dan pihak-pihak tersebut berhubungan dan saling berkepentingan.

Katakanlah dalam sebuah pertemuan keluarga seseorang berceloteh tentang kebijakan pemerintah, politik dan sebagainya. Sekalipun mungkin Anda adalah seorang ekspert di bidang tersebut tidak lantas Anda harus meluruskan pendapatnya dengan berbagai pengetahuan yang Anda miliki? Kenapa? Karena dalam topik ini, relevansi Anda dengan yang bersangkutan rendah.

Beda kondisinya ketika Anda memang diundang sebagai pembicara sebuah seminar mengenai topik tersebut. Topiknya sama, namun tingkat relevansinya berbeda.

Relevansi adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam membentuk keseimbangan antara konten dan konteks. (Satrio)