Peraturan mengenai keheningan hendaknya ditempatkan sebagai peraturan pertama. Allah tidak memberikan diri-Nya sendiri kepada jiwa yang bawel yang, seperti seekor lebah jantan dalam sarang lebah, terus mendengung tetapi tidak menghasilkan madu. Jiwa yang bawel itu kosong batinnya. Ia tidak memiliki, baik keutamaan dasar maupun keakraban dengan Allah. Suatu kehidupan batin yang mendalam, kehidupan yang diliputi damai yang tenang dan hening di mana Tuhan tinggal, sama sekali tidak ada. Jiwa yang tidak mengecap manisnya keheningan batin akan menjadi roh yang selalu gelisah yang mengacaukan keheningan orang lain. Aku telah melihat banyak jiwa berada di lubuk neraka karena tidak menjaga keheningan batin; mereka memberitahukan hal ini kepadaku ketika aku bertanya apa yang menjadi sebab kebinasaan mereka. Ya Allahku, betapa mengerikan membayangkan bahwa mereka tidak mungkin berada di surga, O Yesus, tunjukkanlah kerahiman-Mu! Aku gemetar membayangkan bahwa aku harus memberikan pertanggungjawaban mengenai lidahku. Dalam lidahku ada kehidupan, tetapi juga ada kematian. Kadang-kadang kita membunuh dengan lidah: kita sungguh-sungguh menjadi pembunuh. Dan kita masih memandangnya sebagai suatu hal kecil?

Aku sungguh tidak dapat mengerti hati nurani seperti itu. Aku kenal dengan satu orang yang ketika tahu dari seseorang bahwa dirinya sedang dibicarakan orang, ia jatuh sakit parah. Tekanan darahnya menurun drastis, ia mencucurkan banyak air mata, dan keadaaannya sangat menyedihkan. Bukanlah pedang yang melakukan semua ini, tetapi lidah. O Yesusku yang pendiam, kasihanilah kami!

Kutipan di atas diambil dari Buku Harian Santa Faustina yang saya baca beberapa waktu yang lalu. Kutipan tersebut membuat saya termenung untuk beberapa saat dan mencoba merefleksi pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dalam hidup. Siapakah Santa Faustina? Bagi yang belum pernah mendengar bisa dilihat di sini

Sebagai manusia terkadang kita bisa menjadi begitu emosional dalam menghadapi sesuatu. Tentu setiap orang senantiasa memiliki emosi namun antara yang satu dengan yang lain memiliki tingkat pengendalian yang berbeda.

Ada kalanya emosi kita begitu kental memainkan peran pada kondisi-kondisi tertentu sehingga tidak jarang pula kita melakukan tindakan-tindakan yang terkesan berlebihan sebagai reaksi atas suatu aksi.

Bagi beberapa orang emosi seringkali disalahartikan dan dianggap memiliki konotasi negatif. Bagi saya sendiri emosi dapat dibagi menjadi dua yaitu emosi negatif dan emosi positif. Emosi positif adalah perasaan-perasaan bahagia, sukacita, cinta, sayang, dan sebagainya. Sementara emosi negatif adalah putus asa, marah, iri, kecewa dan lain-lain.

Seandainya kita dapat mengendalikan emosi sebenarnya lebih banyak manfaat positif daripada dampak negatifnya. Emosi dapat berguna sebagai guidance system pada pikiran dan keputusan yang kita ambil jika kita mau melatih dan menggunakannya. Sebaliknya jika kita membiasakan diri untuk menggunakan emosi negatif maka tindakan dan pikiran kita pun cenderung negatif.

Bagi saya emosi positif adalah sebuah emosi murni artinya dia datang tanpa dipengaruhi hal-hal di luar diri kita, orang lain mungkin lebih sering menyebutnya hati nurani. Sementara emosi negatif sudah terlebih dahulu “dicemari” oleh pikiran dimana pikiran memiliki kecenderungan untuk mempelajari apa yang dilihat di luar diri kita. Tidak jarang pikiran ini tidak benar-benar menangkap fakta karena sebelum tugasnya maksimal sudah dikirimkan pada emosi, akibatnya lebih sering yang muncul bukannya fakta namun justru persepsi. Bagaimanapun seringkali kita meyakini sebuah persepsi sebagai kenyataan. Ilmu marketing sangat mengerti pentingnya persepsi maka tak heran jika para pemilik merek dan produk berlomba-lomba membentuk persepsi pelanggan. Bahkan ilmu pemasaran selalu menyebutkan bahwa persepsi bukanlah ilusi melainkan kenyataan yang diyakini oleh pelanggan.

Saya tidak hendak berbicara mengenai persepsi dalam ilmu pemasaran namun sedikit uraian tadi hanya sekedar menunjukkan betapa besar peran persepsi. Bahkan seringkali orang membuat keputusan berdasarkan persepsi bukan fakta.

Emosi negatif selanjutnya akan dikembalikan kepada pikiran kemudian outputnya adalah kata-kata dan tindakan. Maka jangan heran jika memilih membiarkan diri kita dikuasai oleh emosi negatif maka kata-kata dan tindakan kitapun akan menjadi negatif. Sekedar melampiaskan kekesalan, sekedar melampiaskan rasa iri, kedengkian, kekecewaan dan sebagainya.

Lalu apa hubungannya dengan kutipan di awal tadi? Emosi positif membawa kita pada kedamaian, mendekatkan kita pada keheningan sehingga kita merasa lebih dekat dengan Tuhan. Sebenarnya bukan kedamaian yang membawa kita dekat dengan Tuhan namun kedekatan dengan Tuhan-lah yang memawa kita pada perasaan damai. Tentunya untuk dapat “mendegarkan” diperlukan keheningan. Melalui emosi positif itulah saya meyakini Tuhan membimbing kita.

Keheningan menjauhkan kita agar tidak menjadi “jiwa yang bawel”, “lebah yang mendengung namun tidak menghasilkan madu”. Kedua sifat tersebut muncul akibat emosi-emosi negatif.  “Kebawelan” itu bisa muncul berupa keluh kesah. Menggerutu hingga yang terburuk adalah penyebar fitnah yang tak hanya mencelakakan diri sendiri namun juga orang lain.

“Aku kenal dengan satu orang yang ketika tahu dari seseorang bahwa dirinya sedang dibicarakan orang, ia jatuh sakit parah. Tekanan darahnya menurun drastis, ia mencucurkan banyak air mata, dan keadaaannya sangat menyedihkan. Bukanlah pedang yang melakukan semua ini, tetapi lidahâ”

Bayangkan betapa sakitnya diri kita ketika orang lain membicarakan hal-hal negatif tentang diri kita, terlebih jika semua itu adalah fitnah yang dikemas sedemikian rupa hingga membuat banyak orang percaya. Karena itu hendaknya kita menjaga diri kita dari emosi negatif, dari persepsi yang bisa menipu sehingga kita dapat menjaga mulut kita agar tidak menjadi pedang bagi orang lain.

“Aku gemetar membayangkan bahwa aku harus memberikan pertanggungjawaban mengenai lidahku. Dalam lidahku ada kehidupan, tetapi juga ada kematian. Kadang-kadang kita membunuh dengan lidah: kita sungguh-sungguh menjadi pembunuh. Dan kita masih memandangnya sebagai suatu hal kecil?”

Terkadang ketika emosi negatif begitu “berkuasa” kita mampu melakukan berbagai tindakan jahat hanya demi melampiaskannya. Bisa jadi kita tak lagi peduli siapa yang mesti “dijual”, dampak apa yang mungkin terjadi bahkan tak jarang pula mengingkari kata-kata yang pernah kita ucapkan dan merelakan harga diri sendiri demi melampiaskan segala emosi negatif itu.

“Jiwa yang tidak mengecap manisnya keheningan batin akan menjadi roh yang selalu gelisah yang mengacaukan keheningan orang lain”

Namun bukan itu saja yang perlu diwaspadai, sebab meski mungkin kita tidak menciptakan fitnah dan bukan sumber fitnah namun kita percaya pada “kebenaran” yang diciptakan oleh pemfitnah maka itupun menjadikan kita bagian daripadanya.

Kita memang sering tertipu oleh persepsi. Banyak kasus di negeri ini yang diangkat menimbulkan berbagai pro dan kontra dimana masing-masing memiliki pendukung. Bahkan muncul juga pendukung-pendukung yang memberi dukungan melalui jejaring
sosial di dunia maya: “gerakan berjuta-juta orang dukung si jutawan” dan lain sebagainya. Namun berapa orang dari berjuta-juta ini yang mengetahui kebenarannya? Sebab baik dalam kehidupan politik, hukum bahkan pergaulan sehari-hari sudah jamak muncul victim branding. Ketika terjadi perdebatan biasanya salah satu atau malah keduanya berlomba untuk menciptakan persepsi sebagai korban, dan memang masyarakat kita memiliki kecenderungan untuk mendukung “sang korban” meski seringkali juga tidak sungguh-sungguh tahu faktanya. Inilah persepsi, persepsi yang tidak jarang menipu kita, mengaburkan kebenaran.

Lalu apakah “kebenaran” itu? Sesuatu yang diyakini oleh banyak orang? Artinya semakin banyak yang meyakini maka semakin menjadi sebuah “kebenaran”?

Sebenarnya ‘victim branding’ bukanlah hal baru, kecenderungan membela ‘korban’ pun bukan kecenderungan baru dalam masyarakat. Hanya saja baru belakangan ini semakin dimanfaatkan dan didanani sedemikian rupa sehingga menjadi ‘fakta’ yang seringkali lebih dipercaya ketimbang fakta yang sesungguhnya. Ketika ada kecelakaan yang melibatkan kendaraan roda dua dengan roda empat, bukankah masyarakat cenderung menyalahkan kendaraan roda empat meski belum tahu faktanya? Ketika seorang yang secara ekonomi cukup mapan berperkara dengan seorang yang tidak mampu secara ekonomi, siapa yang lebih banyak mendapatkan simpati? Ketika seseorang ‘menjual’ tangisan sementara yang lain memilih berdiam, siapakah yang ‘tampak benar’? Tak heran jika di negeri ini banyak penjual yang menjajakan barang sekaligus ‘œmenjajakan’ cerita kehidupan yang penuh derita agar dagangannya laku.

Sikap mempercayai ‘victim branding’ ini muncul dari persepsi, muncul dari emosi negatif yang sayangnya banyak orang meyakini sebagai nurani. Padahal nurani adalah emosi positif yang murni dan “tidak tercemar” oleh penilaian. Sementara emosi negatif yang cenderung membela korban gadungan seringkali kalau mau jujur diakui adalah cerminan dari kekesalan, kecemburuan, iri dan kepentingan-kepentingan lain yang ada dalam diri kita. Bahkan lebih buruk lagi jika kita sengaja tidak menggali fakta namun sekedar memilih salah satu pihak karena dirasa lebih bermanfaat ketimbang pihak yang lain.

Kita mungkin telah menjaga diri dan mulut kita untuk tidak memfitnah orang lain. Namun jika kita percaya pada cerita yang dikemas dalam wujud ‘victim branding’ agar menjadi sebuah ‘kebenaran’ maka kita sudah menjadi bagian dari fitnah, belum lagi jika kita membahasnya, mendiskusikannya, membicarakannya dan turut menyebarkan. Justru terhadap hal semacam ini kita harus lebih berhati-hati karena seringkali kemasannya nyaris sempurna.

Namun sesempurna apapun tetap tidak dapat menipu mereka yang terlatih menggunakan emosi positif/emosi murni/suara hati. Tidak dapat juga menipu mereka yang mencari kebenaran sebelum memutuskan pihak mana yang hendak dibela atau tidak ada yang patut dibela. Kalau masih belum yakin juga bagaimana harus bersikap saya pilih berpegang kepada Mat 7:1-2 dan Yak 4:11. (Satrio)

“Believe nothing merely because you have been told it. Do not believe what your teacher tells you merely out of respect for the teacher. But whatsoever, after due examination and analysis, you find to be kind, conducive to the good, the benefit, the welfare of all beings — that doctrine believe and cling to, and take it as your guide” ~Buddha-