Albert Hirschman pernah menulis sebuah buku yang cukup fenomenal berjudul ‘Exit, Voice and Loyalty’. Dalam buku tersebut Hirschman menunjukkan tiga opsi yang bisa dipilih manakala organisasi tempat kita bernaung berada dalam kondisi yang tidak sehat karena posisi pengambil keputusannya dikuasai oleh ‘para setan’
Hirschman menyebut tiga opsi tersebut adalah meninggalkan organisasi, menyuarakan keprihatinan kita atau diam sambil berharap keadaan ini akan segera berakhir.
Dalam buku tersebut sebenarnya Hirschman tak hanya merujuk pada organisasi dalam arti perusahaan atau organisasi privat lainnya namun juga merujuk pada negara atau pemerintahan.
McLean dan Nocera dalam bukunya ‘All Devils are Here’ mencoba menggambarkan bagaimana ketamakan dan ambisi pribadi para pemegang keputusan telah membawa negara dalam sebuah krisis finansial.
Baik Hirschman, McLean dan Nocera sama-sama mengungkapkan betapa kebobrokan para pemimpin (pengambil keputusan) bisa membawa organisasi pada kondisi yang sedemikian tidak sehat dan dampaknya harus dirasakan oleh hampir semua orang yang ada dalam organisasi tersebut.
Lalu apa yang harus dilakukan jika kita adalah salah satu ‘korban’ dari para ‘setan’ ini? Menyampaikan aspirasi dan berharap didengar? Well, jika ini pilihan Anda semoga beruntung. ‘Para Setan’ entah dalam wujud birokrat maupun pemimpin organisasi takkan sudi mendengar ‘suara’ kecuali jika ‘suara’ tersebut adalah senandung pujian bagi mereka.
Bahkan ‘para setan’ ini sekuat tenaga mengerahkan sumber dayanya untuk ‘meredam’ suara-suara yang berseberangan dengan dirinya. Jadi ketika Anda berada dalam organisasi dimana suara yang berseberangan diredam, kemungkinan besar organisasi Anda dikuasai oleh ‘para setan’.
Diam? Berharap keadaan buruk ini segera berlalu? Rasanya tak jauh berbeda dengan pilihan pertama. Sekalipun mungkin Anda ‘rela’ bertahan demi uang pensiun yang menggiurkan, Anda juga harus mengorbankan perasaan dan emosi yang bisa-bisa memicu stroke sebelum sempat menerima jatah pensiun.
Jangan harap pula cepat berakhir sebab model ‘kepemimpinan setan’ cenderung lebih capable dalam mempersiapkan ‘para penerus’ untuk mewarisi kepemimpinannya hingga beberapa generasi kedepan dibanding ‘kepemimpinan malaikat’.
Kenapa demikian? Sebab bagi ‘setan’ jabatan adalah sesuatu yang sakral dan harus diwariskan hanya pada ‘sesama setan’. Selain itu ‘setan’ harus menutupi borok-boroknya selama mereka memimpin. Karena itu jangan heran jika ‘setan’ justru bisa menjabat lebih dari satu periode atau bahkan kembali lagi setelah sempat gagal menduduki posisi ‘sakral’-nya.
Keluar? Ya, memang itulah satu-satunya pilihan yang tersisa. Mungkin sebagian besar orang beranggapan ini adalah sikap mudah menyerah. Tapi ingat bahwa meluangkan waktu untuk berkonfrontasi menyuarakan aspirasi melawan ‘para setan’ atau diam saja adalah sama-sama tidak produktif.
Masih banyak tempat dan orang yang memerlukan karya dan pemikiran produktif kita. Hidup terlalu singkat untuk disia-siakan bersama organisasi dengan pemimpin ‘setan’ yang cenderung tidak akan membaik kondisinya dalam waktu singkat.
Ketika orang berpikir: ‘…ah… cari pekerjaan susah. Biar saja yang penting kerja…’
Justru itulah sikap pengecut, tidak kompeten sekaligus benalu bagi organisasi
Happily married, father of a wonderful boy, a passionate Content Strategist. Liverpool FC and Melbourne Victory fan. Traditional martial artist.
I’m going to be myself, do what I think is right. If they don’t like it, so be it. ~ Satrio ~|
Read more posts here||
I’m an ISTJ-A
Comments are closed.